Menyoal Prosedur Pengesahan UU MA
Terhadap upaya penyelarasan undang-undang Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), dan Mahkamah Agung (MA), DPR periode 2004-2009 sepakat untuk mendahulukan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) KY. Namun, pada kenyataannya, DPR justru mensahkan terlebih dahulu RUU MA, yang pada saat pengesahannya hanya dihadiri kurang dari separuh anggota DPR.
Hal di atas menjadi salah satu alasan utama diajukannya permohonan uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA), dalam Perkara Nomor 27/PUU-VII/2009.
Uji formil UU MA ini diajukan oleh Advokat Asfinawati, Pengajar Hasril Hertanto, Pekerja Swasta Johanes Danang Widoyoko, dan Pegawai Negeri Sipil Zainal Arifin Mochtar dengan didampingi Kuasa Hukum dari Tim Advokasi Aliansi Penyelamat Mahkamah Agung.
Kuasa Hukum Pemohon, Taufik Basari, menjelaskan bahwa permohonan uji formil UU MA ini muncul akibat dari satu kecurigaan mengapa UU MA dipaksakan segera disahkan padahal perubahan UU MA ini muncul dari putusan MK yang berujung pada adanya revisi UU Komisi Yudisial (KY) terkait ketentuan pengawasan KY kepada Hakim Agung, sehingga sesuai dengan hasil kesepakatan DPR kala itu, yang seharusnya disahkan lebih dulu ialah RUU KY.
Menanggapi hal tersebut, Pemerintah melalui Direktur Litigasi Dephukham Qomaruddin, mengatakan bahwa RUU MA ini merupakan inisiatif DPR. Pemerintah hanya menyiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), sedangkan jadwal pembahasan sepenuhnya menjadi wewenang DPR. Pemerintah hanya mengikuti jadwal yang sudah ditetapkan DPR. “Prioritas (membahas RUU) KY atau MK atau MA dulu, dalam pembahasan di tingkat pemerintah tak pernah mempersoalkannya. Kita mengikuti jadwal yang sudah ditetapkan DPR,” jelas Qomaruddin.
Menegaskan jawaban Pemerintah, Kuasa Hukum DPR Nursyahbani Katjasungkana menjelaskan bahwa DPR sepakat membahas ketiga RUU tersebut secara bersamaan dan dalam kenyataannya RUU itu memang dibahas secara simultan. “Tapi RUU MA memang speedometer-nya dipercepat. Bukan berarti mendahulukan (RUU MA) ini. Tentu saja tergantung Ketua Panja (Panitia Kerja red.) masing-masing untuk lebih cepat menyelesaikan atau tidak,” papar Nursyahbani.
Aklamasi atau Suara Terbanyak?
Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 menyatakan setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Berdasarkan ketentuan tersebut, Hakim Konstitusi Harjono bertanya kepada Pemerintah dan DPR, apakah sidang paripurna DPR itu forum bagi DPR bersama-sama pemerintah untuk menyetujui sebuah RUU atau forum intern DPR, sebab dalam persidangan masih ada fraksi-fraksi yang tidak setuju. Artinya, DPR sendiri belum mencapai kesepakatan bulat. Kedua, Harjono juga menanyakan ada-tidaknya dokumen yang membuktikan bahwa RUU pernah disetujui pemerintah dan DPR. “Ketiga, undang-undang ini (ditetapkan) aklamasi atau suara terbanyak?” cecar Harjono.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Arsyad Sanusi, dan Akil Mochtar bertanya kepada Pemerintah dan DPR terkait adanya catatan keberatan (minderheits nota) dari Fraksi PDI Perjuangan terhadap pengesahan RUU MA ini. PDIP menolak pengesahan RUU MA karena beberapa alasan, antara lain, penyusunan dan pembahasan RUU a quo berlangsung tertutup sehingga mencederai asas keterbukaan dan menutup aspirasi publik, sehingga hal ini berpotensi diajukannya uji formil oleh publik ke MK. Kedua, PDIP melalui juru bicaranya Gayus Lumbuun, pada pandangan akhir fraksinya, menyatakan menolak Hakim Agung menjabat hingga usia 70 tahun karena PDIP mendukung batas usia usia produktif adalah 65 tahun. Selain itu, usia 70 tahun juga berpotensi menghambat tugas KY merekrut Hakim Agung untuk regenerasi MA.
“Apakah dengan adanya catatan menolak ini, sidang tetap menyepakati?” tanya Maria. Sementara Arsyad menegaskan apakah minderheits nota ini punya kekuatan mengikat untuk menyatakan tidak boleh ada pengesahan.
Menanggapi serangkaian pertanyaan Majelis Hakim, Pemerintah dan DPR memiliki jawaban yang sama bahwa sidang paripurna merupakan forum bersama antara pemerintah dan DPR. “Berdasarkan pembicaraan tingkat satu dan paripurna, (keputusan) diambil dengan aklamasi, musyawarah mufakat. Mungkin pengetukan palu yang sangat terlalu cepat (oleh Ketua DPR Agung Laksono) sebelum keberatan-keberatan dipertimbangkan atau ditanggapi, ini barangkali yang menjadi keberatan Pemohon,” jelas Nursyahbani.
Menjawab pertanyaan ada-tidaknya dokumen yang membuktikan bahwa RUU MA pernah disetujui pemerintah dan DPR, Nursyahbani mengatakan hal itu bisa dibuktikan melalui berita acara persetujuan tingkat satu yang ditandatangani oleh semua wakil fraksi dan pemerintah. Pada saat penandatanganan itu, aku Nursyahbani, tidak ada satu fraksipun yang tidak menandatanganinya. “Bahkan fraksi PDIP, melalui Gayus Lumbuun, juga turut menandatangani berita acara tersebut,” tambah Kabag Penyajian pada Sidang MK dari Dephukham, Mualimin Abdi.
Terkait adanya catatan keberatan dari PDIP, Nursyahbani menjelaskan bahwa sejauh yang diketahuinya, dalam Tata Tertib DPR tidak ada satupun pasal yang mengatur tentang catatan keberatan. “Itu hanya masuk catatan saja dan masuk dalam sejarah DPR RI,” katanya.
Meskipun ada catatan keberatan dari fraksi atau anggota secara individu, proses pengambilan keputusan tetap sah karena dihitung dari jumlah fraksi yang menyetujui. Dalam pengesahan RUU MA ini, Fraksi PDIP tidak setuju dan Fraksi PKS memberi catatan. “Berarti ada delapan fraksi menyetujui. (mekanisme) Ini juga tidak ada dalam tata tertib,” tambah Nursyahbani.
Sementara Pemerintah menandaskan bahwa persetujuan bersama antara DPR dan Presiden tidak bisa diabaikan. “Nota (keberatan) itu dinamika dalam pembahasan yang berpedoman dalam Tata Tertib DPR,” tambah Qomaruddin. (Wiwik Budi Wasito).
Unduh risalah sidang disini
Posting Via Email
Berita dan foto sepenuhnya diambil dari sini
Pingback: Twitter Trackbacks for Menyoal Prosedur Pengesahan UU MA « Dunia Anggara [anggara.org] on Topsy.com
Ga persoalan krusial di Undang-Undang MA yang baru apa ga ?; apa masih seputaran pengawasan KY ke MK ?. Gw lagi buat paper nih, bisa materi permohonannya nggak ?.
Kayaknya Uji Formil, kurang berkenaan tuh MK. Apalagi dasarnya dinamika pengesahan di DPR.
@giri
ada koq materi permohonannya, silahkan di unduh saja bro
Semoga UU yg baru bisa saling melengkapi UU yg sudah ada….