Pengesahan UU MA Cacat Prosedur dan Politik
Proses penetapan rancangan undang-undang (RUU) Mahkamah Agung (MA) melanggar tata tertib sehingga cacat prosedural. Demikian diungkapkan Peneliti Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsudin Haris selaku ahli dari Pemohon dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA), dalam Perkara Nomor 27/PUU-VII/2009, Rabu (7/10) di ruang sidang pleno MK.
Uji formil UU MA ini diajukan oleh Advokat Asfinawati, Pengajar Hasril Hertanto, Pekerja Swasta Johanes Danang Widoyoko, dan Pegawai Negeri Sipil Zainal Arifin Mochtar dengan didampingi Kuasa Hukum dari Tim Advokasi Aliansi Penyelamat Mahkamah Agung.
“Pengesahan UU MA juga cacat secara politik. Dalam hal ini tidak terlaksananya keterwakilan ide atau gagasan dan keterwakilan dalam keadilan,” tambah Syamsudin.
Mengingat pentingnya keterwakilan ide dan keadilan, maka Syamsudin menjelaskan bahwa setiap RUU menjadi tidak sah apabila dalam pengesahannya masih terdapat pertentangan antar fraksi dan pimpinan sidang justru langsung mengetok palu untuk mensahkan RUU menjadi UU.
Terkait minimnya kehadiran anggota dewan dalam setiap pengesahan RUU, Syamsudin berpendapat bahwa hal itu merupakan catatan buruk dan kebiasaan tersebut harus dibongkar. “Mana mungkin kehadiran secara administratif berdasarkan absensi saja sudah bisa digunakan untuk mensahkan RUU menjadi UU tanpa melihat kehadiran secara fisik?” tanyanya retoris.
Terhadap penjelasan Syamsudin tersebut, Ketua Majelis Hakim Moh. Mahfud MD menanyakan, jika didasarkan pada asas kemanfaatan, apakah kehadiran secara administratif, berdasarkan tanda tangan saja, membuat undang-undang menjadi tidak sah. “Secara hukum hal itu (kehadiran fisik red.) bisa menjadi benar karena alat ukur dalam tata-tertib adalah kehadiran secara administratif. Dari sinilah azas manfaat itu dillaksanakan selain mempertimbangkan kehadiran secara fisik,” tanyanya kepada Syamsuddin.
Menanggapi hal tersebut, Syamsudin menjelaskan bahwa adanya konvensi bahwa keabsahan kehadiran hanya diukur dengan tanda tangan belaka, secara administratif, adalah hal yang salah. (RNB Aji)
Berita diambil dari sini dan silahkan unduh risalah sidangnya disini