Pelapor dan Perlindungan Saksi
Kasus yang melibatkan Susno dan Gayus telah menarik perhatian banyak orang dalam melihat peran dan fungsi dari LPSK. Sempat terjadi tarik menarik malah antara Polri dan LPSK saat LPSK telah memutuskan untuk melindungi mantan Kabareskrim Polri ini dengan menempatkan Susno ke dalam Safe House yang dimiliki oleh LPSK
Namun, Polri telah menolak menyerahkan Susno ke LPSK dan akhirnya telah terjadi kesepakatan antara Polri dan LPSK mengenai status Perlindungan Susno Duadji. Kesepakatan ini setidaknya telah membuat para kuasa hukum Susno Duadji menganggap bahwa LPSK tidak mampu melindungi Pemohon perlindungan. Bahkan dalam Rapat Dengan Pendapat antara LPSK dengan DPR kemarin, DPR juga telah mendesak agar LPSK menjamin perlindungan Susno. Bahkan DPR juga mendukung langkah LPSK untuk merevisi UU PSK.
Hukumonline bahkan melaporkan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tak berdaya menghadapi Polri. Hal itu terjadi karena LPSK gagal memindahkan mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Komisaris Jenderal Susno Duadji ke rumah aman (safe house). Masalah ini sebenarnya bertolak dari lemahnya pengaturan norma perlindungan saksi di sistem hukum pidana Indonesia, sehingga muncul asumsi kegagalan LPSK dalam melindungi sang Peniup Peluit. Well saya sedang tidak bicara soal Susno, tapi saya bicara dalam soal dan kasus – kasus yang lain. Kasus Susno menurut saya menarik dijadikan entry yang baik dalam memandang problematika perlindungan saksi di Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU 13/2006 maka Saksi, Korban, dan Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana ataupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya, namun yang menarik adalah Penjelasan tentang Pelapor dalam UU 13/2006 yang dapat menikmati status “aman” sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 10 ayat (1) tersebut hanya terbatas pada Pelapor yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana.
Problem inilah yang menjadikan para peniup peluit yang melaporkan ke selain aparat penegak hukum menjadi tidak dilindungi. Misalnya jika ada pelapor yang melaporkan suatu tindak pidana ke media tentu tidak bisa dilindungi berdasarkan UU ini. Namun saya penasaran bagaimana jika si Pelapor ini memberikan laporan/informasinya kepada seorang Advokat, karena berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU 18/2003 karena Advokat juga menyandang status penegak hukum.
Sampai saat ini memang belum ada mekanisme khusus yang mengatur kedudukan peniup peluit ini dalam kerangka hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Yang ada adalah mekanisme yang sangat ringkas sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (2) UU 13/2006 yang menyebutkan bahwa “…kesaksianya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”. Namun dengan siapa pelapor ini akan bernegosiasi? Dan seberapa banyak keringanan hukuman yang akan dijatuhkan? Dan bagaimana peran LPSK ataupun lembaga penegak hukum yang lain dapat memainkan perannya saat bernegosiasi dengan pelapor ini?
Jika melihat dalam ketentuan UU 13/2006 maka peran hakim sangat menentukan kedudukan pelapor dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Ketua LPSK dalam tulisannya di Kompas menuturkan dengan sangat baik apa yang menjadi kesulitan dalam mekanisme perlindungan saksi di Indonesia. Lebih lanjut beliau menyatakan “Meskipun telah ada peraturan perundang-undangan yang melindungi pelapor, ada perbedaan pengertian antara pelapor di Indonesia dan whistleblower. Seseorang hanya dapat disebut pelapor apabila telah menyampaikan laporan kepada aparat penegak hukum atau komisi. Adapun mereka yang mengungkapkan informasi kepada publik—bukan kepada aparat penegak hukum—tidak disebut pelapor, dan peraturan di atas tidak melindungi mereka. Perlindungan lengkap hanya diberikan kepada pelapor tindak pidana korupsi dan/atau pencucian uang, sedangkan untuk tindak pidana lainnya diatur di Pasal 10 UU Perlindungan Saksi dan Korban berupa perlindungan terbatas, yaitu proteksi hukum semata. Artinya tidak dituntut secara pidana ataupun perdata atas laporan yang disampaikan dengan iktikad baik. Bahkan, pelapor yang laporannya tidak masuk kategori pidana, tidak mendapat perlindungan.
Ini berbeda dengan pelapor tindak pidana korupsi dan tindak pidana money laundering yang berhak mendapat jaminan keamanan, mengganti identitas, evakuasi, serta perlindungan hukum. Perlindungan hukum mencakup hak untuk tidak dituntut secara pidana atau perdata (imunitas) dan menuntut kerugian apabila ada pihak-pihak, dalam hal ini termasuk aparat penegak hukum, membocorkan identitas mereka sebagai pelapor.
Untuk tindak pidana korupsi dan money laundring, menurut UU Tipikor dan UU KPK serta UU TPPU dan Peraturan Pelaksananya, perlindungan pelapor dilakukan oleh KPK, PPATK bersama dengan kepolisian serta aparat penegak hukum lainnya. Namun, sejak ada UU No 13 Tahun 2006, pelapor sekaligus saksi dan/atau korban dapat meminta perlindungan LPSK.
Peraturan perlindungan pelapor yang tersebar dan dengan mekanisme yang berbeda-beda itu sangat membingungkan dan menyulitkan. Bahkan, dapat berimplikasi tidak berjalannya perlindungan terhadap pelapor. Karena itu, perlu dirumuskan mekanisme perlindungan yang lebih sederhana dan proaktif.”
Namun, di tengah – tengah keterbatasan aturan, seharusnya LPSK sebagai lembaga yang diberikan kewenangan khusus menurut UU dapat membuat terobosan – terobosan yang dapat menciptakan iklim bagi terciptanya integrasi sistem dan mekanisme perlindungan saksi di Indonesia. Terlepas dari kontoversi “kegagalan” LPSK dalam melindungi Susno dan juga mungkin pemohon perlindungan yang lain juga harus menjadi cambuk untuk LPSK untuk segera berbenah. Tidak hanya menyambut uluran Komisi II untuk pembaharuan UU 13/2006 namun juga pro aktif dengan jajaran MARI untuk dapat menciptakan mekanisme perlindungan saksi di Pengadilan secara komprehensif
Uraian yang jelas tentang pelapor dan perlindungan saksi . Terima kasih.
wah Gayus lulusan STAN,,bikin malu almamater saja beliau
puyeng juga ngikutin berita si Gayus..oowh