Freedom Flotilla, Lusitania Espresso, dan Hari Lahir Pancasila
“Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme.” (Seokarno, 1 Juni 1945)
Saat ini kita memperingati hari lahirnya Pancasila, pada 65 tahun silam, Soekarno berpidato tentang Pancasila. Pidato yang memukau para peserta sidang BPUPKI dan yang akhirnya menerima Pancasila sebagai dasar dari negara Indonesia.
Tapi saat ini dunia berguncang karena masih adanya konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina, konflik yang menurut saya bukanlah konflik agama, akan tetapi konflik yang disebabkan oleh perjuangan kemerdekaan dalam melawan penindasan.
Konflik yang kemudian membawa jutaan orang di kawasan itu menderita berkepanjangan. Konflik itu telah membawa setidaknya 800 orang aktivis, dokter, dan anggota parlemen dari 40 negara membawa bantuan kemanusiaan sebanyak 10 ribu ton berupa semen, generator, pemurni air, buku dan alat tulis, rumah rakitan, alat medis, peralatan olahraga, cokelat dalam kapal yang bernama Kapal Mavi Marmara dimana misi kemanusiaan tersebut diberinama Armadan Kebebasan (Freedom Flotilla).
Kapal yang berangkat dari pelabuhan Antalya, Turki pada 28 mei 2010 dan membawa para aktivis kemanusiaan itu tentu didorong oleh motif kemanusiaan terlepas dari asal kebangsaan dari masing – masing aktivis tersebut. Relevan bukan dengan pidato Soekarno saat itu? Saat itu Seokarno berkata “Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia”.
Sayang, armada itu ternyata disergap oleh empat kapal militer dan diserbu oleh pasukan militer bersenjata dan mengakibatkan 16 orang tewas. Tempo menuturkan “Saat armada kapal bersiap masuk wilayah perairan Palestina, tiba-tiba pasukan komando Israel menyerbu. Mereka naik ke geladak kapal, menembaki para relawan, lalu menahan kapal itu di pelabuhan Israel. Korban tewas berjatuhan. Israel menyebutkan korban tewas 10 orang. Sebaliknya, kalangan aktivis menyebutkan korban tewas 16 orang selain belasan luka. Kontak dengan kapal itu terputus sampai sekarang, sehingga bagaimana situasi sesungguhnya belum jelas.”
Peristiwa itu membawa saya pada Tragedi 12 November 1991 di Dilli dan juga insiden dengan kapal Lusitania Espresso. Begitu mirip meski tak sama. Menurut sebuah laporan, kapal Lusitania Espresso membawa mahasiswa, buruh, laki – laki, perempuan, tua muda, anggota parlemen dari Italia, Perancis, Kanada, Indonesia, Belanda, Brazil, Australia, Inggirs, Portuis, India, Jepang, Swedia, Jerman, dan beberapa dari negara Afrika. Aksi mereka juga jelas, menentang Tragedi 12 November 1991 di pekuburan Santa Cruz. Saya ingat kedua peristiwa itu, karena saya sempat tinggal di Dilli, Timor Leste. Saat itu kapal Lusitania Espresso dihadang oleh 2 – 3 KRI dan dilaporkan telah mengancam akan menembak Kapal Lusitania Espresso jika memasuki wilayah laut Indonesia. Tak ada korban memang tapi saat itu tak banyak media massa melaporkan secara independen tentang Insiden Lusitania Espresso. Jadi kita tak bisa tahu apa yang terjadi saat itu
Buat saya sendiri, saya menentang “agresi” tak beradab pada kapal atau penerbangan yang membawa misi kemanusiaan apapun dalihnya. Dan saya berharap warga dunia tak lelah menolong manusia – manusia di kawasan konflik tersebut.
Simpati dan duka saya mendalam untuk mereka,semoga Tuhan selalu bersama mereka dan menjadi Penolong mereka yang membutuhkan
aq baru sadar ternyata perairan palestina dijaga oleh israel.berarti benar2 terdesak warga palestina ya.udah di blokade di perbatasan mesir dan israel.dan ga ada jalan keluar brarti bagi warga palestina.benar2 menyulitkan situasi disana.
lusitania expresso & Freedom Flotilla misi perdamaian ( baca : MISI PROVOKASI ).
Apapun dalihnya tujuannya sama.
Goblok luh !!! Nulis 2 peristiwa sejenis tp gak tau kesamaan dr keduanya.
Hancurkan Biadab Israel. Mereka bukan manusia, mereka hanya mayat hidup yang tidak punya hati…..Bebaskan Palestina
Lusitania misi kemanusiaan ?
bukannya TL pd waktu itu masih bagian sah dr Indonesia dan diakui oleh dunia internasional, sedangkan wilayah Gaza sampai sekarang oleh PBB belum diakui sebagai bagian dari wilayah Israel ?
Apakah TL pada waktu itu diblokade oleh pemerintah Indonesia yg membuat rakyat TL kesulitan utk mendapatkan kebutuhan mendasar seperti makanan, obat2an, dll ?
Apakah rakyat TL pada waktu itu banyak yg tinggal di tempat pengungsian seperti halnya rakyat Gaza karena tempat tinggalnya telah dihancurkan oleh tentara ?
tolong dibedakan antara misi kemanusiaan dan misi provokasi. sebagai warga negara Indonesia, harusnya anda malu menulis hal semacam ini. mempersamakan Lusitania dengan Mavi sama saja dengan mempersamakan perlakuan Pemerintah Indonesia dengan kebiadaban Pemerintah Israel.
Apa yg pernah Pemerintah Indonesia lakukan di TL memang tidak sepenuhnya benar, tapi langkah2 Pemerintah Indonesia pada awalnya jg didukung oleh negara2 barat, kalo anda belajar sejarah pasti anda tahu itu. restu barat atas invasi TL dpt dilihat dr restu AS lewat Menlu Henry Kissinger. waktu itu tujuannya untuk menghadang komunisme di Asia Tenggara.
Kemudian pada dekade 90-an setelah komunisme ambruk, barulah TL digoyang. tujuannya ? ya anda simpulkan saja sendiri. pertanyaan yg paling mendasar, kenapa setelah 20 tahun kemudian, barulah dunia internasional mempermasalahkan invasi Indonesia ke TL ? kenapa di tahun2 awal invasi tak banyak negara yang mempermasalahkan, bahkan AS, Inggris, dan Australia saja merestui invasi tersebut.
sekali lagi tolong dibedakan antara Mavi dan Lusitania. Mavi dihadang karena akan menembus blokade untuk memberikan bantuan kemanusiaan, sedangkan Lusitania ? Lusitania dihadang karena masuk wilayah Indonesia untuk memprovokasi rakyat TL lewat aksi tabur bunga yg dilakukan aktivis di Lusitania.
@dani
Timor Leste secara hukum internasional tidak pernah diakui oleh PBB ataupun dunia Internasional. Silahkan anda cek berbagai resolusi PBB yang setiap tahun sejak 1975 selalu meminta Indonesia untuk keluar dari Timor Leste. Begitu juga dengan perundingan segitiga antara Indonesia, Portugis, dan Sekjend PBB menandakan Indonesia tidak pernah diakui sebagai “penguasa” resmi di Timor Leste.
Lusitania Espresso datang karena ada insiden Santa Cruz, dimana memaksa pemerintah Indonesia untuk membentuk Komisi Penyelidik Nasional, soal apa yang sesungguhnya terjadi memang susah dibaca, karena media Indonesia pada waktu itu tidak ada yang benar – benar independen dan berani memberitakan, terutama seputar kejadian pada 1975 – 1980 dan juga insiden Santa Cruz. I was there at that time, and I know what really happened there 🙂
tapi sebenarnya aq sangat kecewa sama habibie,karna kesalahannya kita kehilangan timor leste.seharusnya kan kita bisa memperluas wilayah indonesia ini.ini adalah kesalahan habibie yg paling fatal bagi rakyat indonesia makanya habibie cuma bisa menjadi presiden selama setahun.
justru indonesia harusnya berterima kasih kpd habibie atas opsi untuk org2 TL apakah mau begabung dgn indonesia scr sah/diakui internasional atau merdeka. jika tidak ada opsi itu alias indonesia tetep ngeyel bhw TL adalah bagian sah dr indonesia, akan mempersulit keadaan, tekanan barat yg bertubi2 (jgn2 embargo) dan keresahan nasional atas kasus ini. indonesia lain dgn israel, krn kita ndak ada yg memback up mati2an seperti amerika thd israel. kesulitan2 akan dihadapi sdr tanpa ada yg nolong.
karena opsi sudah dipilih, ya sudah, selesai masalah drpd berlarut2 makan biaya ekonomi, sosial yg tdk sedikit, dan akan menguras energi.
Coba kalau banyak orang Indonesia yang bisa berpikir kayak anda.
komen nya serius semua, saya mau ikutan serius tapi susah, jadi saya ndak jadi komen deh 😛
Tulisan menarik tentang penyergapan militer terhadap kapal-kapal yang membawa misi perdamaian. dimana yang terakhir bahkan sampai merengut nyawa.
oke, saya bisa terima poin yg anda sampaikan, TL tidak pernah diakui scr “resmi” oleh dunia internasional
ya….saya tahu soal tujuan kedatangan Lusitania. itu sebabnya komentar saya sebelumnya, mempertanyakan apa benar misi Lusitania benar2 misi kemanusiaan bukannya misi politik yg dibuat seolah-olah misi kemanusiaan ?
tapi apakah anda pernah berada di Gaza sampai2 anda bisa mempersamakan kondisi TL pada waktu itu sama dgn kondisi Gaza ? apakah anda tahu Gaza dikelilingi oleh tembok pembatas, yg kabarnya lebih luas dan lebih tinggi drpd Tembok Berlin. selain itu penutupan akses menuju Gaza jg dilakukan di perbatasan dgn Israel dan Mesir. semua itu masih ditambah lg dgn gempuran2 yg dilakukan oleh angkatan bersenjata Israel.
perlu digarisbawahi disini, saya bukanlah penganut nasionalisme buta yg biasanya disimbolkan dgn slogan “Right or wrong is my country”.
saya tidak pernah merasa bangga atas invasi Indonesia di TL. saya jg merasa sedih atas korban nyawa putra2 terbaik bangsa yg gugur, baik pada saat Operasi Seroja maupun belasan tahun setelah itu. saya jg merasa sedih atas korban jiwa ribuan rakyat TL akibat invasi itu dan merasa malu sebagai WNI atas berbagai kesengsaraan yg dialami rakyat TL pasca invasi. invasi Indonesia atas TL adalah lembaran hitam dalam sejarah Indonesia, seperti halnya dengan pembunuhan ribuan orang di tahun 1965.
yang saya pertanyakan adalah postingan anda yang seolah-olah mempersamakan “pembajakan” Mavi Marmara dengan penghadangan yang dialami Lusitania. sebagai bahan pembanding saja, Mavi selain mengangkut relawan (yg sering dsebut media barat sbg aktivis garis keras yg siap mati sbg martir), wartawan, tenaga medis, juga mengangkut ribuan ton bahan pangan, obat2an, bahan bangunan, kursi roda yg akan diberikan pada rakyat Gaza. Sedangkan Lusitania mengangkut aktivis, pelajar, dan anggota parlemen. dari perbandingan itu sebenarnya bisa diambil kesimpulan mana yg membawa misi kemanusiaan dan mana misi politik.
saya merasa tindakan TNI pada waktu itu yg menghadang Lusitania masuk ke wilayah yg masih dipersengketakan lebih logis drpd tindakan tentara Israel yg “membajak” kapal dgn misi kemanusiaan di perairan internasional
Maaf OOT nih Mas Anggara dan Mas Dani.
Ini sekedar cerita:
Pada masa ‘hadirnya’ RI ke TL, beberapa anggota keluarga saya berdinas di Dili. Harus saya akui, mereka bekerja untuk instansi militer RI. Masa yang cukup kelam untuk keluarga kami. Sebab harus berpisah berjauhan antar anggota keluarga dan mereka yang di TL harus melakukan perintah yang mungkin tidak ingin dilakukan. Namun untunglah masa itu telah lewat (Toh TL syukurlah akhirnya merdeka dan tidak ada lagi anggota keluarga kami yang harus meregang nyawa di sana).
Bertahun-tahun setelahnya. Dua bulan lalu, saya kebetulan harus pergi ke perbatasan Jordania sekaligus harus melalui Tel Aviv. Mendengar cerita dan langsung berkomunikasi dengan teman-teman dari WN Israel yang berlatar belakang Yahudi maupun Muslim. Bahkan sempat beberapa kali mengobrol dan melihat langsung dengan beberapa teman Palestina yang datang dari Gaza maupun West Bank. Saya bisa bilang bahwa apa yang terjadi di sana (Gaza) memang menyedihkan dan semrawut dan benar-benar bertolak belakang dengan apa yang terjadi di West Bank. Kami bisa bicara dengan tenang satu sama lain, sebab waktu itu ada di Kalya, tepi laut mati (lebih dekat ke Amman daripada ke Jerussalem).
Dari info yang saya dengar, kalau mau dibandingkan dengan TL, Gaza memang beda. Jangankan dengan TL, dengan sesama warga Palestina yang tinggal di West Bank saja jelas amat beda (silahkan baca ini http://bit.ly/c9cysw untuk melihat bedanya)
Masalah di Gaza sudah benar-benar rumit. Bukan lagi antara Islam vs Yahudi atau Hamas vs Israel Govt. atau Palestinian Kaya vs Palestinian miskin atau apalah namanya. Benar-benar rumit, Mas. Saya saja sampai bingung. Yang pasti, memang ada tragedi kemanusiaan di Gaza.
Nah IMO, tragedi kemanusiaan itulah benang merah yang menyatukan Gaza dan TL. Di Gaza ada embargo terhadap rumah sakit dan bahan bakar minyak (BBM). Dulu di TL, ada kuping-kuping dan jari-jari sayatan milik aktifis lokal (terkenal anti-RI) yang diawetkan lalu digantung sebagai bahan pajangan para komandan tangsi yang beradu gengsi.
Saya percaya, tragedi kemanusiaan adalah persamaan antara Gaza dengan TL pra kemerdekaan. Mungkin tragedi itulah yang membuat para manusia bersimpati datang untuk membantu. Diantaranya melalui perahu.
Sumpah mati, saya nggak mau jadi smart ass di sini. Saya pun tidak pernah berada di Flotilla maupun di Lusitiana. Saya cuma orang dari kampung pesisir biasa. Saya hanya sekedar cerita apa yang saya alami dan berharap semoga memberi sedikit gambaran tentang apa yang terjadi di tempat yang saya kunjungi (yang kebetulan jadi topik tulisan Mas Anggara kali ini)
Maaf kalau kebanyakan omong 🙂
terimakasih
bangaip
Tragedi ini telah membuktikan siapa Israel sebenarnya
jangan sampai sejarah terulang lagi..
jangan sampai kita jadi seperti Israel secara ga langsung lewat komen2 yg ga baik
ckckck..saya jadi ingat mba2 dari USA yang dilindas buldoser oleh tentara Israel..
akhirnya nama mba2 tersebut di jadikan nama kapal..tapi saya lupa namanya siapa
Pingback: Mie SEHATI
Mas Anggara, saya kira antara Mavi Marmara (MV) dan Lusitania Expresso (LE) berbeda, jika MV datang ke palestina karena murni kemanusiaan, maka LE ke tim-tim misinya adalah provokasi berkaitan dengan insiden 12 nov’ 1991 santa cruz. sewaktu kejadian saya juga disana. (SMPN 2 DILI, 91-94)