Merawat Kebebasan Internet di Indonesia
I. Pendahuluan
Informasi adalah suatu mantra sakti yang tersebar luas di abad ini. Karena informasi inilah menyebabkan banyak pemerintahan di dunia ini berupaya keras untuk mengekang laju deras arus informasi dengan bermacam cara. Karena sebuah informasi bahkan dapat menyebabkan suatu rejim menjadi jatuh berguguran. Informasi juga bisa menjadikan seseorang yang dikenal bersih tiba – tiba duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa koruptor di Pengadilan. Namun informasi juga diperlukan oleh para eksekutif di korporasi – korporasi bisnis, baik kecil ataupun besar, untuk menentukan strategi bisnis yang apik untuk dapat menjangkau para konsumennya.
Begitu strategisnya nilai informasi sehingga pada saat ini, Kita – masyarakat, mau tak mau hidup dengan informasi yang bersliweran setiap hari, dari yang bisa dikonfirmasi kebenarannya sampai dengan informasi yang berbalut dengan isu, rumor, dan gosip. Namun satu hal yang pasti kebenaran sebuah informasi hanya bisa diperoleh apabila ada suatu pasar bebas dan kompetisi yang terbentuk secara adil dalam menjajakan informasi. Sehingga masyarakat bisa terdidik secara tidak langsung dalam ”memamah” dan menentukan informasi mana yang benar dan baik untuk dikonsumsi. Tanpa adanya pasar bebas dan kompetisi informasi, yang terjadi adalah penyebaran rumor, isu dan gosip yang tak berkesudahan dan jejaringnya akan sulit untuk diurai kembali.
Internet sampai saat ini dikenal sebagai senjata yang ampuh untuk penyebarluasan informasi, tak heran jika banyak pemerintah di negera – negara otoriter atau setengah demokratis begitu memusuhi atau setidak – tidaknya mengkhawatirkan pengaruh dari Internet terutama untuk kestabilan pemerintahan. Banyak alat yang digunakan untuk mengkontrol internet dari mulai yang kuno hingga penggunaan alat – alat canggih. Yang kuno sendiri yaitu upaya untuk meningkatkan sensor diri yang berlebihan melalui hukum, terutama hukum pidana dengan ancaman pidana yang tinggi dan tak masuk akal, sementara yang canggih menggunakan metode sensor atau filtering untuk menghambat arus informasi
Sebagai manusia yang hidup di tengah masyarakat, sangat sulit membayangkan jika ada seseorang yang dapat hidup tanpa informasi. Dalam setiap tahapan kebudayaan selalu terdapat proses dan mekanisme bagaimana setiap orang mendapatkan informasi dari pihak lain. Namun secara pasti, semakin mudah informasi didapat maka semakin cepat pertukaran informasi terjadi dan semakin tinggi kemampuan manusia untuk menentukan langkah strategis apa yang akan diambil sehubungan dengan informasi yang diperoleh olehnya
II. Internet dan Rezim Ketertutupan Informasi
Perilaku korupsi dimulai setidaknya karena adanya ketertutupan informasi, sehingga informasi menjadi barang mahal untuk dijajakan dan memiliki nilai komoditasnya tersendiri di pasaran. Hal ini terjadi karena informasi memegang peranan penting dalam kehidupan manusia dan mudah untuk dilihat bagaimana masyarakat pada umumnya memiliki kesulitan untuk mengakses informasi ke badan – badan/lembaga – lembaga negara ataupun lembaga – lembaga pelayanan umum lainnya.
Internet memegang peran penting di sini, selain menyediakan informasi dan mendobrak ketertutupan informasi, namun sekaligus juga sebagai sarana untuk mengkonfirmasi tentang praktek – praktek koruptif yang merugikan masyarakat. Ada banyak pihak yang dapat diidentifikasi punya keinginan untuk berusaha menutupi informasi, yaitu aparat pemerintahan yang korup, instansi kemiliteran – terkait dengan operasi – operasi militer yang melanggar HAM, dan perusahan- perusahan pencemar lingkungan. Blog, Twitter, Facebook, dan Email memegang peran penting untuk penyediaan informasi ini. Sifatnya yang massal dan murah serta nyaris tak berbatas menjadikan internet menjadi senjata ampuh yang digunakan masyarakat sipil
Problem ketertutupan informasi inilah yang menyebabkan tumbur suburnya praktek – praktek korupsi di semua lini yang pada akhirnya menumbuhkan beban bagi masyarakat secara keseluruhan. Beban ini menjadi biaya tidak terlihat yang harus ditanggung oleh masyarakat untuk memperoleh informasi yang seharusnya terbuka untuk masyarakat. Pada masa lalu, Informasi telah diperlakukan sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan oleh para penyelenggara kekuasaan negara.
Tanpa kebebasan memperoleh informasi bagi masyarakat maka mustahil diharapkan tumbuhnya kontrol dari masyarakat terhadap perilaku dari para penyelenggara negara. Tanpa adanya kontrol tentu akan berbanding lurus dengan potensi terjadinya konspirasi dan akibatnya akuntabilitas dari para penyelenggara negara menjadi minus. Untuk para pelaku penegakkan hukum, seperti kalangan advokat, ketertutupan informasi menjadikan kinerja advokat menjadi rendah karena rendahnya data yang tersedia untuk melakukan pembelaan secara maksimal.
III. Internet dan Kebebasan Berekpresi/Internet and Freedom of Expression
Internet adalah sarana yang memudahkan orang untuk saling bertukar ide, gagasan, dan juga informasi. Tak pelak, hal ini justru menunjukkan hubungan yang erat antara internet dan kebebasan berekspresi. Kebebasan berekspresi sendiri dijamin dalam berbagai peraturan hukum nasional dan juga internasional. Peraturan – peraturan itu adalah sebagai berikut:
Pasal 28 UUD 1945
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang undang. Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Pasal 28 F UUD 1945 Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia Pasal 14 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. (2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia Pasal 19 Universal Declaration of Human Rights Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers. Pasal 5 d (viii) International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (diratifikasi melalui UU No 29 Tahun 1999) In compliance with the fundamental obligations laid down in article 2 of this Convention, States Parties undertake to prohibit and to eliminate racial discrimination in all its forms and to guarantee the right of everyone, without distinction as to race, colour, or national or ethnic origin, to equality before the law, notably in the enjoyment of the following rights: (d) Other civil rights, in particular: (viii) The right to freedom of opinion and expression; Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) International Covenant on Civil and Political Rights (diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No 12 Tahun 2005) 1. Everyone shall have the right to hold opinions without interference. 2. Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice. Pasal 13 ayat (1) Convention on the Rights of the Child (diratifikasi melalui Keppres No 36 Tahun 1990) The child shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of the child’s choice.
|
Begitu ampuhnya internet dalam mendorong kebebasan berekpresi, berpendapat, dan kebebasan pers dan secara timbal balik menyokong transparansi dan keterbukaan informasi telah membuat berbagai pemerintahan di dunia berupaya membatasi internet. Di negara – negara tertentu seperti China, Burma, dan beberapa negara otoriter lainnya, internet diatur secara keras bahkan mengalami sensor yang luar biasa dari pemerintahannya. Sementara di negara – negara yang masih mengalami “demam” demokrasi, seperti Indonesia, “terpaksa” melihat kesuksesan negara – negara otoriter untuk membendung laju kebebasan masyarakatnya.
IV. Internet: Antara Kebebasan Berekspresi dan Hukum
Kebebasan berekspresi merupakan bagian integral dari keseluruhan kerangka hak asasi manusia. Hal ini terlihat jelas di dalam aturan Konstitusi Indonesia, yakni Pasal 28 dan 28E ayat (3) (kebebasan berekspresi) dan Pasal 28 F. Elaborasi lebih jauh atas jaminan konstitusional tersebut tertuang dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan juga diratifikasinya International Covenant on Civil and Political Rights melalui UU No 12 Tahun 2005
Dalam penikmatannya, kebebasan berekspresi bukanlah tanpa batasan, hukum internasional mengakui pembatasan terhadap kebebasan berekspresi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (3) International Covenan on Civil and Political Rights maka ada syarat – syarat yang harus dipenuhi apabila negara hendak melakukan pembatasan
“the exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided by law and are necessary:
(a) For respect of the rights or reputations of others; (b) For the protection of national security or of public order (ordre public), or of public health or morals. |
Human Rights Committee juga mengeluarkan General Comment No 10 pada 29 Juni 1983 dalam kerangka Pasal 19 ICCPR yaitu yang menekankan bahwa :
1. Paragraph 1 requires protection of the “right to hold opinions without interference”. This is a right to which the Covenant permits no exception or restriction. The Committee would welcome information from States parties concerning paragraph 1.
2. Paragraph 2 requires protection of the right to freedom of expression, which includes not only freedom to “impart information and ideas of all kinds”, but also freedom to “seek” and “receive” them “regardless of frontiers” and in whatever medium, “either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice”. Not all States parties have provided information concerning all aspects of the freedom of expression. For instance, little attention has so far been given to the fact that, because of the development of modern mass media, effective measures are necessary to prevent such control of the media as would interfere with the right of everyone to freedom of expression in a way that is not provided for in paragraph 3. 3. Many State reports confine themselves to mentioning that freedom of expression is guaranteed under the Constitution or the law. However, in order to know the precise regime of freedom of expression in law and in practice, the Committee needs in addition pertinent information about the rules which either define the scope of freedom of expression or which set forth certain restrictions, as well as any other conditions which in practice affect the exercise of this right. It is the interplay between the principle of freedom of expression and such limitations and restrictions which determines the actual scope of the individual’s right. 4. Paragraph 3 expressly stresses that the exercise of the right to freedom of expression carries with it special duties and responsibilities and for this reason certain restrictions on the right are permitted which may relate either to the interests of other persons or to those of the community as a whole. However, when a State party imposes certain restrictions on the exercise of freedom of expression, these may not put in jeopardy the right itself. Paragraph 3 lays down conditions and it is only subject to these conditions that restrictions may be imposed: the restrictions must be “provided by law”; they may only be imposed for one of the purposes set out in subparagraphs (a) and (b) of paragraph 3; and they must be justified as being “necessary” for that State party for one of those purposes |
Selain itu untuk melihat eksplorasi ketentuan hukum internasional tentang pembatasan kebebasan berkekspresi bisa melihat ke dalam Johannesburg Principles on Natonal Security, Freedom of Expression, and Access to Information
Setidaknya ada tiga isu pokok dalam pembatasan terhadap kebebasan berekspresi yaitu Pertama, pembatasan itu harus ditentukan oleh hukum, Kedua, pembatasan ditujukan untuk memenuhi salah satu alasan, antara lain keselamatan publik (public safety), ketertiban publik (public order), moral publik (public morals), kesehatan publik (public health), hak-hak dan kebebasan dasar orang lain, hak dan reputasi orang lain dan keamanan nasional, dan Ketiga, pembatasan harus dianggap perlu untuk dilakukan (proporsional). Syarat bahwa pembatasan terhadap kebebasan-kebebasan dasar harus ditentukan oleh hukum seharusnya tidak dimaksudkan untuk melemahkan esensi hak asasi manusia yang ditetapkan baik dalam Kovenan ataupun dalam UUD .
Sebelum kelahiran UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang kontroversial itu, banyak orang menanggap bahwa ranah internet adalah ranah yang tak terjangkau oleh hukum. Pendapat itu tidak sepenuhnya benar, karena dalam beberapa hal hukum pidana Indonesia yaitu KUHP masih mampu menjangkau kejahatan – kejahatan tradisional yang dilakukan di medium internet. Yang dimaksud kejahatan tradisional adalah kejahatan seperti: Penghinaan, kesusilaan, penyebaran kebencian, penodaan agama, perjudian, pengancaman, dan beberapa tindak pidana lain. Artinya kasus – kasus yang menggunakan medium internet namun pada dasarnya kejahatannya adalah kejahatan tradiosional masih dapat dijangkau oleh KUHP. Di titik ini, sebenarnya argumen bahwa ranah internet adalah ranah yang tidak terjangkau oleh hukum menemukan kekeliruannya. Kekeliruan inipun juga melanda Mahkamah Konstitusi saat menguji ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dimana Mahkamah Konstitusi menyatakan, pembeda utama antara interaksi di dunia nyata (real/physical world) dan dunia maya (cyberspace) hanyalah dari sudut media yang digunakan. Namun demikian keduanya memiliki dampak yang serupa di ranah nyata. Dinyatakan bahwa, seluruh interaksi dan aktivitas melalui internet akan memiliki dampak bagi kehidupan manusia dalam dunia nyata. Kendati tidak ada perbedaan yang prinsipil antara yang ‘nyata’ dan yang ‘maya’, karena yang menjadi ukuran adalah dampaknya, akan tetapi terkait dengan norma pidananya, Mahkamah Konstitusi malah menyatakan bahwa penghinaan yang diatur dalam KUHP (penghinaan off line) tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan di dunia siber (penghinaan on line). Mahkamah Konstitusi beralasan bahwa unsur-unsur di dalam ketentuan KUHP, tidaklah mungkin dipenuhi dalam penghinaan on line[1].
V. Melihat Rambu dan Jerat Hukum
Sebenarnya agak sulit menguraikan rambu dan jerat hukum terkait aktifitas seseorang di internet yang berhubungan erat dengan kebebasan berekspresi karena rambu dan jeratnya begitu tersebar dalam berbagai ketentuan UU selain yang sudah ada di dalam KUHP. Namun secara umum ada 5 hal yang patut dicermati yaitu soal penghinaan, kesusilaan, penodaan agama, penyebaran kebencian, kabar bohong, dan pengancaman di dalam KUHP, UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Isu | KUHP | UU 1/1946 | UU 11/2008 | UU 24/2009 | UU 44/2008 |
Penghinaan terhadap kepala negara sahabat | 142 | – | 27 ayat (3) | – | – |
Penghinaan terhadap bendera negara sahabat | 142a | – | 27 ayat (3) | – | – |
Penghinaan terhadap wakil negara asing | 143 | – | 27 ayat (3) | – | – |
Penghinaan terhadap kepala negara sahabat dan wakil negara asing dalam bentuk selain lisan | 144 | – | 27 ayat (3) | – | – |
Penghinaan terhadap bendera negara Indonesia | 154a | – | 27 ayat (3) | 66
67 |
– |
Penghinaan terhadap penguasa atau badan umum | 207 | – | 27 ayat (3) | – | – |
Penghinaan terhadap penguasa atau badan umum dalam bentuk selain lisan | 208 | – | 27 ayat (3) | – | – |
Menista | 310 | – | 27 ayat (3) | – | – |
Fitnah | 311 | – | 27 ayat (3) | – | – |
Penghinaan ringan | 315 | – | 27 ayat (3) | – | – |
Penghinaan terhadap pejabat yang menjalankan tugas | 316 | – | 27 ayat (3) | – | – |
Pengaduan fitnah | 317 | – | 27 ayat (3) | – | – |
Persangkaan palsu | 318 | – | 27 ayat (3) | – | – |
Penghinaan terhadap orang mati | 320 | – | 27 ayat (3) | – | – |
Penghinaan terhadap orang mati dalam bentuk selain lisan | 321 | – | 27 ayat (3) | – | – |
Penodaan Agama | 156a | – | 27 ayat (3) | – | – |
Penghinaan terhadap Lambang Negara | – | – | 27 ayat (3) | 68
69 |
– |
Penghinaan terhadap Lagu Kebangsaan | – | – | 27 ayat (3) | 70
71 |
– |
Kesusilaan | 281
282 |
– | 27 ayat (1) | – | Keseluruhan |
Penyebaran Kebencian | 156
157 |
– | 28 ayat (2) | – | – |
Pengancaman | 268 | – | 27 ayat (4)
29 |
– | – |
Penghasutan | 160
161 |
– | – | – | – |
Kabar Bohong | – | XIV
XV |
28 ayat (1) | – | – |
VI. Melewati Jejaring Hukum di Internet
Pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah apakah mungkin melewati jejaring hukum untuk internet terkait dengan kebebasan berekspresi. Sebenarnya ada beberapa cara untuk mensiasati jejaring hukum yang tersebar luas di dunia internet sehubungan dengan isu kebebasan berekspresi. Ada baiknya kita melihat Kode Etik Jurnalistik yang diadopsi oleh Dewan Pers[2]. Meski bukan jurnalis, namun standar etika yang tinggi yang di adopsi oleh Jurnalis patut mendapat perhatian ketika memposting sesuatu di internet. Selain standar etika jurnalistik kita juga harus melihat standar etika yang melekat dalam diri kita, misalnya jika anda seorang guru, sebaiknya juga mengikuti standar etika dari seorang guru, demikian juga bila anda seorang Hakim, sebaiknya mengikuti standar etika dari seorang hakim[3].
Namun ada 3 prinsip dasar dari seorang Pengguna Internet aktif yang harus dipahami yaitu Pertama Pengguna Internet harus jujur dan adil dalam mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, Kedua Pengguna Internet memperlakukan sumber informasi sebagai manusia yang harus mendapatkan penghormatan, dan Ketiga Pengguna Internet harus dapat terbuka dan bertanggung jawab[4]. Selain ketiga aspek penting ini yang menjadi syarat wajib jika anda hendak bersiasat untuk melewati jejaring hukum, yaitu anda juga wajib memperhatikan norma – norma sosial yang berkembang di sekitar anda. Selain memperhatikan hal – hal tersebut, sebaiknya anda juga memperhatikan kepentingan kelompok minoritas atau kelompok rentan dalam setiap tulisan anda. Kelompok minoritas dan kelompok rentan yang harus diperhatikan adalah anak – anak, perempuan korban kekerasan seksual, anak – anak dan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, masyarakat adat, kelompok difabel, dan buruh migran. Kelompok – kelompok inilah yang sering mendapatkan stigma negatif dari masyarakat dan rentan mendapatkan kekerasan berikutnya dari tulisan – tulisan yang kita unggah di internet.
[1] Pertimbangan Putusan No 50/PUU-VI/2008 dan Putusan No 2/PUU-VII/2009
mantab banget, ada undang2nya juga..
Wuih…baru ngeh ane ada nyang gituan, Thanks Berat Sob atas inponya
Pingback: Merawat Kebebasan Internet di Indonesia | bsi12c24kel5