Perdebatan di Seputar Hukum Acara Penyadapan
Privasi, mungkin kata ini adalah salah satu kata yang masuk jarang diucapkan di kalangan masyarakat Indonesia. Entah karena alergi, entah pula karena memang kultur masyarakat Indonesia pada dasarnya agak menabukan hal – hal yang berkaitan dengan privasi. Sangat jarang terdapat wacana dalam khazanah hukum ataupun sosial di Indonesia. Saya sendiripun tidak melihat ada satu organisasi HAM di Indonesia yang berbicara secara spesifik tentang privasi. Saya kira, terdapat beragam campuran faktor – faktor pendukung dimana masyarakat dan penyelenggara negara abai terhadap perlindungan privasi ini.
Konstitusi Indonesia, terutama sejak dilakukannya amandemen telah melindungi hak atas privasi. Secara tegas Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 telah menyebutkan “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Namun sayangnya, hingga saat ini tidak ada formulasi hukum yang tepat untuk mengimplementasikan ketentuan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 ini.
Setelah UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) disahkan, Pemerintah berencana untuk mengeluarkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Tata Cara Intersepsi yang memang merupakan perintah dari Pasal 31 ayat 4 UU ITE. Namun, rencana pemerintah ini dipandang oleh kalangan aktivis anti korupsi sebagai bentuk dari pelemahan upaya pemberantasan korupsi yang tengah dilakukan oleh KPK.
Terlepas dari isu pelemahan pemberantasan korupsi, kita mungkin pernah ingat bahwa ada kasus penyebar luasan isi SMS yang dikirimkan oleh seorang jurnalis yaitu Metta Dharmasaputra kepada Vincentius Amin Santoso, Chief Financial Controller Asian Agri Group. Selain itu, kita mungkin ingat penyadapan terhadap Al Amin Nasution dalam kasus korupsi yang dikenal dengan “skandal gadis berbaju putih”. Masih juga segar dalam ingatan kita, dimana Antasari Azhar, dalam kedudukan sebagai Ketua KPK memerintahkan penyadapan terhadap Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, dimana ternyata Nasrudin Zulkarnaen tidak terlibat dalam kasus korupsi. Kasus – kasus ini sebenarnya sudah cukup menunjukkan betapa mudahnya hak privasi dari seorang warga negara diganggu oleh negara meski dilakukan dalam bungkus upaya penegakkan hukum.
Hal – hal inilah yang membuat saya, dan dua orang rekan saya yaitu Supriyadi W. Eddyono, dan Wahyudi Djaffar, mengajukan permohonan pengujian Pasal 31 ayat (4) UU ITE ke Mahkamah Konstitusi pada 22 Februari 2010. Dalil kami sederhana yaitu pengaturan Pasal 31 ayat (4) UU ITE yang memerintahkan pengaturan penyadapan dalam bentuk PP dapat mengurangi hak – hak kami sebagai warga negara yang dilindungi hak privasinya berdasarkan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 dan juga kami mendalilkan bahwa meski hak privasi bukanlah masuk pada kategori hak yang tidak dapat dibatasi, namun pembatasan tersebut harus dilakukan oleh UU bukan pada level PP atau peraturan lainnya di bawah UU. Pembatasan yang dilakukan oleh peraturan di bawah UU menurut kami pada saat itu bertentangan dengan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.
Pada saat kami mengajukan pengujian tersebut, kami sadar bahwa langkah ini tentu tidak populer, karena ada beberapa lembaga penegak hukum yang mengatur penyadapan melalui peraturan internalnya seperti KPK dan juga kepolisian. Dengan mengklaim bahwa pengaturan penyadapan hanya boleh dilakukan melalui UU, secara otomatis kami juga menyatakan bahwa pengaturan internal tentang penyadapan di berbagai lembaga penegak hukum adalah bertentangan dengan konstitusi. Namun, pada saat itu saya dan teman – teman berprinsip bahwa pemberantasan kejahatan apapun termasuk korupsi hanya bisa dilakukan dengan cara memperkuat perlindungan HAM bagi setiap warga negara Indonesia termasuk untuk Tersangka/Terdakwa, Saksi, dan Korban. Tanpa perlindungan HAM yang maksimal, upaya untuk memerangi kejahatan justru akan menimbulkan kejahatan – kejahatan baru yang dilakukan atas nama hukum.
Secara umum penyadapan di Indonesia memiliki sejarah panjang, pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda, Keputusan Raja Belanda Tanggal 25 Juli 1893 N0 36, bisa dianggap sebagai peraturan tertua di Indonesia mengenai penyadapan informasi yang terbatas digunakan pada lalu lintas surat di kantor pos seluruh Indonesia. Setelah itu muncul beragam peraturan perundang – undangan yang mengatur tentang penyadapan diantaranya yaitu (1) Bab XXVII WvS Tentang Kejahatan Jabatan, Pasal 430 – 434, (2) UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, (3) UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (4) UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, (5) Perpu No 1 Tahun 20002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, (6) UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat, (7) UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, (8) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan (9) UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pada level di bawah UU, setidaknya juga terdapat 2 Peraturan Pemerintah dan 1 Peraturan Menteri yang juga mengatur tentang Penyadapan/Intersepsi yaitu (1) PP No. 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (2) PP No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi, dan (3) Permenkominfo No. 11 Tahun 2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi
Dengan beragamnya peraturan perundang-undangan dan ketiadaan aturan tunggal yang mengatur tata cara tata cara penyadapan mengandung kelemahan yang justru dapat mengancam hak atas privasi dan menjadikan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang paling terancam hak atas privasinya di antara masyarakat lain di negara – negara hukum modern yang demokratis di dunia.
Untuk itu kepada Mahkamah Konstitusi, saya dan teman – teman, mengajukan argumentasi bahwa reaksi hukum untuk melakukan “kodifikasi” hukum acara atau tata cara penyadapan/intersepsi harus didukung namun ketentuan “kodifikasi” dari hukum acara tersebut tidak bisa hanya diatur dalam level setingkat Peraturan Pemerintah sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 31 ayat (4) UU ITE. Kami juga mendesak adanya keperluan untuk melalukan pembaharuan hukum acara pidana Indonesia khususnya pembaharuan UU No 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dalam hal penyediaan aturan yang komprehensif tentang Penyadapan untuk dapat memperkuat dan lebih melindungi jaminan atas hak privasi dari serangan atau campur tangan yang sangat mungkin sewenang – wenang dari aparat penegak hukum
Pendapat kami dalam pengujian ini sebenarnya juga didukung oleh pertimbangan tentang perlunya penyadapan diatur dalam UU Penyadapan ataupun dalam KUHAP yaitu dalam Putusan MK pada Perkara Nomor 006/PUU-I/2003 pada pengujian Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan pertimbangan hukum putusan MK dalam Perkara Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 pada pengujian Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pandangan saya dan teman – teman inipun memperoleh dukungan dari Ifdhal Kasim, Ketua Komnas HAM yang menyatakan mekanisme penyadapan di berbagai negara di dunia dilakukan dengan syarat (i) adanya otoritas resmi yang ditunjuk dalam Undang-Undang untuk memberikan izin penyadapan, (ii) adanya jaminan jangka waktu yang pasti dalam melakukan penyadapan, (iii) pembatasan penanganan materi hasil penyadapan, (iv) pembatasan mengenai orang yang dapat mengakses penyadapan. Selain itu juga kami mendapatkan dukungan dari Mohammad Fajrul Falaakh, anggota KHN dan Ahli Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum UGM yang menyatakan Undang-Undang mengenai penyadapan seharusnya mengatur dengan jelas tentang: (i) wewenang untuk melakukan, memerintahkan maupun meminta penyadapan, (ii) tujuan penyadapan secara spesifik, (iii) kategori subjek hukum yang diberi wewenang untuk melakukan penyadapan, (iv) adanya izin dari atasan atau izin hakim sebelum melakukan penyadapan, (v) tata cara penyadapan, (vii) pengawasan terhadap penyadapan, (viii) penggunaan hasil penyadapan. Bahkan Mohammad Fajrul Falaakh berpendapat bahwa Pasal 31 ayat (3) dan ayat (4) UU 11/2008 bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak memberikan kejelasan dan kepastian aturan tentang penyadapan.
Keseluruhan upaya kami ini ternyata membuahkan hasil yang menggembirakan dimana pada Kamis, 24 Februari 2011, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan kami dan mencabut Pasal 31 ayat (4) UU ITE. Tidak hanya itu, MK juga kembali menegaskan, untuk yang ketiga kalinya, tentang perlunya pemerintah dan DPR segera mengesahkan UU yang mengatur Penyadapan secara spesifik. Kemenangan ini saya rasa perlu didorong terus oleh kalangan organisasi HAM dan juga organisasi anti korupsi, tidak hanya untuk mengajukan usulan untuk membuat UU Penyadapan, tapi secara umum juga organisasi HAM dan organisasi anti korupsi perlu terus mendorong pembaharuan Hukum Acara Pidana yang baru yang lebih memberikan proteksi dan perlindungan hak asasi manusia tidak hanya terhadap Tersangka/Terdakwa tapi juga terhadap Saksi dan Korban.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih untuk tim kuasa hukum yang telah mewakili saya dan teman2 pemohon lainnya, yaitu Wahyu Wagiman, Zainal Abidin, Totok Yuliyanto, Adam Pantouw, Andi Muttaqien, dan Adiani Viviana
Untuk putusannya silahkan diunduh disini
Selamat ya (semoga tidak terlambat) atas dikabulkannya permohonan anda oleh MK.
Wah, keren.. selamat ya pak. Bsk saya download dh putusannya, soalnya saya masih penasaran dgn legal standingnya. 🙂
penayadapan gimana sih ya kalau manyadam sih penjahat lebih penter dari pada bapa polisi tahu ya sih ya