Melihat Putusan MK tentang Anak Luar Kawin
Tersebutlah seorang Machica Mochtar dan anaknya mengajukan permohonan pengujian Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 28 B ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.
Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan berbunyi “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sementara Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan berbunyi “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”
Kedua norma inilah yang diujikan ke Mahkamah Konstitusi dan pada 17 Februari 2012 melalui Putusan No 46/PUU-VIII/2010, MK mengabulkan permohonan pengujian Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan dengan menambahkan frasa “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”
Pertimbangan MK hingga mencapai kesimpulan tersebut adalah:
- Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) frasa “yang dilahirkan di luar perkawinan”. Untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak.
- Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu.
- Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak.
- Berdasarkan uraian di atas, hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan;
Terlepas dari sisi politis yang tentunya pro terhadap hak anak – anak, namun perlu dipikirkan kembali secara serius akibat yang muncul dari putusan ini terutama dari sisi pembuktian dan proses peradilannya. Putusan MK ini harus kemudian ditindak lanjuti dengan proses pembaharuan legislasi, saya sendiri nggak tahu apakah harus melalui proses pembaharuan UU Perkawinan, atau melalui proses pembaharuan hukum acara mengenai hal ini.
Sebagai contoh saya mau jelaskan sedikit, proses pengakuan anak di luar nikah mungkin mudah jika semua pihak mau secara sukarela mengakui anak tersebut. Prosedur yang bisa ditempuh bisa jadi mengajukan permohonan ke Pengadilan dan kemudian Pengadilan berdasarkan bukti – bukti yang diajukan dapat menetapkan pengesahan pengakuan anak tersebut yang kemudian putusan tersebut harus dibawa ke kantor administrasi kependudukan yang mengeluarkan akta kelahiran.
Nah, problem pertama kewenangan Pengadilan manakah yang akan menetapkan hal ini, apakah Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama untuk kalangan Islam dan Pengadilan Negeri untuk kalangan Non Islam? Menurut saya ini perlu dijawab ke depan
Problem keduanya adalah, bagaimana jika salah satu pihak tidak berkenan? Misalnya ayahnya tidak mau mengakui bahwa ia adalah ayah dari anak tersebut atau bisa dibalik juga ayahnya mau mengakui tapi ibunya yang enggan mengakui? Prosedur apa yang digunakan, apakah gugatan atau permohonan? Dan bagaimana dengan pembuktian dan beban pembuktiannya? Ini penting karena beban pembuktian sesungguhnya harus diletakkan pada siapa yang sesungguhnya benar – benar “menguasai” anak tersebut. Nah, kalau salah satu pihak nggak mau memenuhi panggilan pengadilan, lalu alat paksanya apa? Kan nggak mungkin anaknya diletakkan Sita Jaminan. Lalu bagaimana dengan beban biaya? Apakah pembuktian test DNA merupakan beban biaya negara atau beban penggugat/tergugat atau justru keduanya?
Problem ketiga, menurut saya adalah proses ini harusnya berjalan singkat dan tidak perlu perkara seperti ini harus masuk hingga ke tingkat kasasi supaya ada kepastian hukum bagi si anak.
Intinya saya mau bilang, putusan MK ini selain harus diapresiasi namun di sisi lain wajib juga dilakukan pembaruan legislasi dengan segera
Info yang bagus dan menyadarkan kita, bahwa putusan MK harus ada tindak lanjutnya. Karena bagaimanapun juga, kadangkala, prakteknya di lapangan tidak semudah yang dialami oleh masing-masing pihak. Yah, semoga bermanfaat bagi semuanya. Karena pada dasarnya, hukum ditegakkan demi memperoleh perlindungan, rasa keadilan dan tentu saja: MANFAAT.
Salam kompak:
Obyektif Cyber Magazine
(obyektif.com)
Putusan ini memberikan perlindungan hukum pada anda luar kawin yang sejak zama belanda hanya punya hubungan hukum dengan ibunya.
Semoga pemerintah segera keluarkan peraturan yang mengakomodir putusan tsb.
Tapi harus diingat putusan tersebut juga bisa menggampangkan pelaku zina makin merajalela krn telah payung hukum untuk ‘hasil’ perbuatan mereka.. kesakralan perkawinan akan berkurang,, bisa jadi orang gak perlu nikah resmi (ke KUA ato Imam ato lainx), buat apa makan biaya saja toh nantix ada payung hukumx,,, yang perlu diperhatikan adalah hubungan keperdataan harus dipersempit khusus untuk kemaslahatan si anak, bukan lainx.
pd prinsipnya putusan MK itu deklaratoir, hanya menerangkan keadaan tertentu saja, oleh karena itu perlu ada peraturan lanjutan dari pihak lain (Pemerintah, MA dll) untuk mensinkronkan putusan MK tersebut agar dapat diaplikasikan dgn mulus
Putusan MK Melegalisir Praktik Pelacuran
Didalam menerapkan hukum seharusnya pembuat UU melihat Pola fikir satu masyarakat, karena masih ada di masyarakat kita orang yang doyan kawin dengan dalih agama telah dibenarkan, dan saat ini dilegalisir oleh putusan MK yang mengabulkan uji materi (judicial review) terhadap salah satu pasal dalam UU No 1 tahun 1974, pasalnya si wanita yang mau kawin siri merasa aman terhadap turunannya nanti terutama dalam mendapat warisan dan si wanita tetap happy mengerogoti kasih saya orang lan dan harta suami sirinya, sehingga jadi jelas putusan MK tersebut sudah merusak tatanan perkawinan yang mawadah dan sakinah, dimana seorang Isteri yang sah dan setia telah dirampas haknya secara semena-mena oleh akibat konspirasi suaminya yang kurang ajar dengan wanita yang pasti belum tentu disenangi isteri yang setia tersebut, weleeh weleeh……..;
Padahal perkawinan siri tersebut terdapat yang haram menurut agama seperti kawin kontrak atau dimana dibeberapa daerah terdapat perkawinan siri yang dimanipulasi, tetapi sebenarnya hanya untuk melegalisir praktik pelacuran;
Jangan-jangan yang membuat putusan mau mau kawin lagi kaleee
Saya belum sependapat dengan putusan MK oleh karena akibat adanya putusan MK tentang uji materil Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) : akan terjadi kemerosotan moral lebih tajam dan akan banyaknya lahir anak luar nikah karena para pelanggar hukum merasa sudah cukup terlindungi. Seharusnya :
– Setiap adanya pelanggar hukum (penzina), semestinya pelanggar itu harus dihukum agar bagi yang lain menjadi pelajaran.
– Sesuai dengan sebuah Hadist : “Anak-anak yang dilahirkan adalah untuk laki-laki yang punya isteri (yang melahirkan anak itu) dan bagi pezina adalah rajam”
– Faktanya anak luar nikah itu ada, maka Pemerintah perlu mengeluarkan PP khusus yg mengatur anak luar nikah yang tanggungjawab biaya hidupnya dibebankan pada ayah biologis namun tidak dapat dinasabkan kepadanya, karena akibat dinasabkan itu akan berakibat lebih jauh terhadap silsilah keturunan dan mempunyai hak kewarisan dari padanya dan ini tidak menghormati kesucian lembaga perkawinan.
Nggak lama lagi kayaknya ada putusan MK mengijinkan Wanita yang punya suami melakukan kawin sri dengan laki-laki lain dan anaknya pasti halal, karena mempunyai hubungan perdata dengan Ibunya hahahahahaha