Seperti Memberi Cap ET/PKI
Setiap orang pasti pernah punya salah, ada yang ketahuan dan ada juga yang enggak ketahuan. Nggak usah dibahas kali ya yang nggak ketahuan, ya buat apa juga namanya juga nggak ketahuan. Lagipula gimana juga ngebahas sesuatu kesalahan yang nggak ketahuan, benerkan?
Nah, gimana dengan salah yang ketahuan? Mestinya dijatuhi hukumankan, entah itu hukuman administratif, hukuman etis, atau hukuman pidana atau malah semuanya. Problemnya kalau salahnya itu ketahuan, sudah diproses, dan sudah dihukum, mestinya kita berharap orang tersebut akan memperbaiki diri. Fungsi hukuman yg dijatuhkan dalam jangka waktu tertentu disini mestinya diarahkan kepada resosialisasi dan rehabilitasi orang tersebut.
Tapi ya kadang2, bangsa ini memang pendendam, kalau bisa orang dihukum terus tanpa mau beri peluang agar seseorang bisa memperbaiki dirinya. Contohnya ya dimasa orde baru, kasih aja cap ET (eks tapol) atau kalau dimasa sekarang orang yg pernah dihukum dimatikan hak – hak sipilnya lewat berbagai UU. Atau ya peluang resosialisasi, reintegrasi, dan rehabilitasi ditutup saja, toh nggak melanggar HAM kata beberapa orang. Cara lain yg canggih, pampang aja identitas penjahat2 itu agar mereka dihukum terus oleh masyarakat. Agar mereka dikenang terus bahwa mereka pernah melakukan kejahatan tertentu.
Saya bukan membela orang – orang yg pernah melakukan kejahatan, tapi lebih kepada pemikiran apa ya pantas orang yg pernah melakukan kejahatan harus dihukum terus menerus. Kalau orangnya waras, dia pasti enggan utk melakukan kesalahan lagi, saya yakin bahkan orangnyapun kalau perlu bisa mengubur masa lalunya yg kelam. Gimanapun juga, sehebat apapun orang itu, menghadapi proses hukum pastilah gentar apalagi kalau proses hukum itu proses hukum yang adil
Saya setuju setiap orang yg melakukan kesalahan harus dijatuhi hukuman yg setimpal dengan perbuatannya. Tapi setelah dia dihukum, apa iya dia nggak punya hak utk kembali ke masyarakat sebagai warga negara normal, sebagai manusia biasa yg punya kelemahan, kekurangan, dan kelebihan. Lagipula siapa kita bisa menghakimi orang sedemikian rupa sekedar untuk memuaskan nafsu primitif kita hingga ke akar2nya?
Semoga kita tidak terjebak dalam memelihara nafsu primitif kita ya
*blok m, ditulis saat menunggu 3 in 1
Apdet Disclaimer:
Tulisan ini sama sekali tidak terkait dengan situs apapun, jika punya persepsi beda, maka itu adalah kesalahan anda sendiri
Dalam hukum modern sekarang pemidaaan memang sudah ke arah pemasyarakatan tidak lagi kearah pemidanaan yang absolut
Bukan hanya kesalahan perorangan dalam memberi cap ET/ PKI/ Napi, tapi negara juga berperan besar (paling besar)
perlu dieksplor apa faktor2 stigmatisasi seperti yang terjadi thd ex PKI, dan apakah ‘pemampangan’ wajah terpidana (katakanlah) korupsi = stigmatisasi? Jika ya, tentu logikanya semua pemberitaan kasus pidana tidak boleh diberitakan, karena dapat berakibat pada munculnya stigmatisasi. nah, apa ini yang dimaksud?
…tentu yang dimaksud bung anggara dalam konteks ini adalah korupedia.org. hehehe tu de poin aja, kok malu2 :p
Bung anggara, maksud tulisan ini apa sih? judulnya “seperti memberi cap ET/PKI”, seperti apakah itu yang ‘seperti’ itu? bisa diexplor ga?
om arsil yang ganteng, soal pemberitaan korupsi itu nggak ada masalah, tapi pada umumnya berhenti juga ketika si terdakwa sudah divonis dan mejalani “masa penyuciannya”. Maksudku adalah, filosofi pemidanaankan sudah berubah lama, sudah sejak 1960 berubahnya, tak lagi pemenjaraan, tapi pemasyarakatan. Label orang yang pernah dihukum juga akan melekat terus tanpa harus diteriak teriakinkan?
Gue selalu setuju orang harus dihukum setimpal dengan perbuatannya, tapi setelah menjalani “masa penyucian” masak iya dia harus dihukum terus. Mestinya dia bisa kembali jadi warga negara biasakan, seperti halnya kita.
Siapa yang menghukum setelah bebas? labelisasi o/ masyarakat sesuatu yg tidak terhindari, kecuali ada intervensi negara di situ, seperti mengkriminalisasikan tindakan pelabelan; biasanya sih via pasal2 penghinaan. apakah ini yang dimaksud om anggara yang chubby? tapi kalau seperti ini, bukankah bertentangan dg tulisan2 om anggara yg chubby lainnya yg sepertinya menentang delik penghinaan? Atau ada sarana yg lainnya nih?
om arsil yang baik
tentu nggak akan dihindari untuk sementara waktu, tak mungkin masyarakat lupa dalam waktu dekat, tapi tentu masyarakat akan belajar memaafkan kesalahan yang sudah dilakukan. Kenapa setelah bebas harus dihukum? Gue tetap dengan pendapat gue soal dekriminalisasi penghinaan. Kalau merasa terhina gugat aja, gampangkan
oooh gitu toh…jadi kembali ke pertanyaan awal, yg “seperti memberi cap dst” itu seperti apa sih om? Apakah maksudnya pemberitaan2 yang dilakukan o/ media massa?
om arsil yang keren
yang seperti itu, kalau media massa pada umumnya berhenti memberitakan ketika perkaranya sudah selesai dan terpidananya mau dengan sukarela menjalani “masa penyucian”. Apa pernah media memberitakan lagi, kan enggak, kecuali kalau napinya tetiba ketemu di Mall hehehehehe
hmmmm…kalau bukan media massa, terus jadinya siapa kira2 yg dimaksud dg judul di atas?
tante lisra
nggak ada yang dimaksud om, baca disklaimer dong ah
Bagian dari melawan lupa mas anggara. God forgive, but we don’t. Heheheheehe
@giri
gitu ya mas hehehehehe
kalok kata pengacara di twitter biar ada sangsi masyarakat yg diterima om, berbeda dengan tapol tapol kan masalah politik dan mereka diadili secara seadanya, nah kalok koruptorkan diberi kesempatan membela diri jadi nggak sama ex- tapol apa koruptor.
@jefri
mungkin begitu juga, entahlah, ini kenapa nyambung ke koruptor?
karena ini om “Disclaimer: tulisan gue ini bit.ly/Kf48BW nggak ada urusannya sama situs apapun” Heheheh,
mungkin yang mencantumkan list koruptor itu harus rajin menghapus atau memperbaharui listnya, sehingga yg sudah menjalani hukuman dan pencucian bisa kembali ke masyarakat dengan new life nya.
*eh kok aku malah nyangkut ke situs yaks 😀 *mlipir