Pernyataan Sikap Bersama: UU ITE MENGANCAM KEMERDEKAAN BERPENDAPAT DAN KEBEBASAN BEREKSPRESI DI INDONESIA
Aliansi Nasional Reformasi Hukum Telematika Indonesia
Aliansi Nasional Reformasi Hukum Telematika Indonesia (Aliansi) sangat prihatin dengan keinginan pemerintah untuk mengontrol kembali kebebasan-kebebasan dasar yang telah mendapatkan jaminan konstitusional di Indonesia.
Kontrol ini sebagian telah terlaksana melalui tangan Departemen Komunikasi dan Informatika dengan 4 PP Penyiaran yang memangkas kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia, Kewajiban Registrasi Nomor Telepon Seluler Pra Bayar, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), UU Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Negara Republik Indonesia selain telah menjamin Hak Asasi Manusia dalam Perubahan II UUD 1945, Pemerintah juga telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, yang tentunya membawa kewajiban Internasional untuk melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan Indonesia.
Namun UU ITE telah jelas tidak mengakui perhormatan, pemajuan, dan perlindungan Hak Asasi Manusia, dan mengabaikan UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mewajibkan agar setiap materi muatan peraturan perundang-undangan menceminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia. Dalam Konsideran Mengingat UU ITE sama sekali tidak mencantumkan ketentuan apapun tentang Hak Asasi Manusia, oleh karena itu dalam pandangan Aliansi UU ini telah menunjukkan watak aslinya yang mengabaikan Hak Asasi Manusia
UU ITE ini juga tidak mempunyai kejelasan tujuan yang hendak dicapai sebagaimana yang disyaratkan dalam UU No 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU ini telah jauh melenceng dari misi awalnya yang hendak melindungi perdagangan dan transaksi elektronik. UU ITE malah melangkah jauh dengan mencampuri hak-hak sipil yang merupakan bagian dari kebebasan dasar yang harus dapat dinikmati oleh setiap orang yaitu kemerdekaan berpendapat
Aliansi memperkirakan setidaknya ada 7 ketentuan dalam UU ITE yang berpotensi mengancam diantarnya adalah Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 31 ayat (3), Pasal 40 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), dan Pasal 45 ayat (2).
Sementara itu UU ITE juga memberikan cek kosong dalam bentuk Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan implementasi dari Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 40 ayat (2).
UU ITE ini juga mengesahkan perluasan kembali kewenangan Depkominfo yang sangat ditolak oleh kalangan media. Aparat Depkominfo akan menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil, disamping Penyidik Polri, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam pandangan Aliansi ini adalah upaya sistematis dari Depkominfo untuk mengembalikan kejayaan pada saat Depkominfo masih bernama Departemen Penerangan.
Selain UU ITE, Pemerintah dan DPR juga sedang membahas RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi (RUU TIPITI) yang RUU dan naskah akademiknya di siapkan oleh Global Internet Policy Initiative – Indonesia, Cyber Policy Club, dan Indonesia Media Law and Policy Center. Sebuah RUU yang juga tak kalah mengancam kemerdekaan berpendapat dan kebebasan berekspresi di Indonesia.
Oleh karena itu, kami, Aliansi Nasional Reformasi Hukum Telematika Indonesia menyatakan sikap
- Menolak kontrol negara atas kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan pers, dan kebebasan berekspresi dalam segala bentuknya di Indonesia
- Mengecam ketentuan-ketentuan dalam UU ITE yang mengancam kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan pers, dan kebebasan berekspresi dalam UU ITE
- Mendesak agar pemerintah segera melakukan amandemen terhadap UU ITE agar sesuai dengan kewajiban-kewajiban Internasional Indonesia dalam konteks hak asasi manusia dan juga tidak melanjutkan pembahasan RUU TIPITI yang sangat mengancam kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan pers, dan kebebasan berekspresi di Indonesia
- Menyerukan agar seluruh komponen masyarakat sipil di Indonesia untuk mengawasi dengan ketat setiap pembuatan peraturan perundang-undangan di DPR agar tidak bertabrakan dengan ketentuan-ketentuan tentang Hak Asasi Manusia
Jakarta, April 2008
Aliansi Nasional Reformasi Hukum Telematika Indonesia
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers)
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
Komunitas Bloger Benteng Cisadane (KBBC)
Center for Democratic and Transparency (CDT)
Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Merdeka!!
kayaknya perlu kontak person juga untuk dihubungi pihak yg butuh info lebih lanjut nih
saya kok tidak melihat RUU ITE ini akan melanggar hak asasi manusia. justru banyak ketentuan dalam RUU ITE yang melindungi masyarakat khususnya dari aktivitas hackers/crackers.
Dinegera kita yg masih memegang adat ketimuran, rasanya menjunjung tinggi kesusilaan adalah suatu keniscayaan. Melakukan pencemaran nama baik dan fitnah, di negara manapun di dunia ini tetap dianggap sesuatu yang jelek. Bahkan dalam agama, mencemarkan nama baik orang lain itu diumpamakan seperti makan bangkai saudaranya.
namun saya sependapat dengan statemen dalam blog ini, bahwa RUU ITE tidak melindungi hak asasi manusia, …yaitu yaitu hak asasi manusia yang melanggar hukum, melanggar kesusilaan, melakukan perbuatan tercela dan hal-hal buruk lainnya. Coba cermati lagi, baca ulang dengan kepala dingin, hemat saya meskipun UU ITE memang tidak sempurna, namun masih oke saja. sebagai suatu produk perundangan dan justru banyak bernuansa perlindungan masyarakat dan bernafaskan semangat merah putih (meskipun indeed ini justru agak merepotkan perkembangan e-commerce dan e-banking). Merdeka
Iwan: Coba cermati lagi:
“Mengecam ketentuan-ketentuan dalam UU ITE yang mengancam kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan pers, dan kebebasan berekspresi dalam UU ITE”
Jadi yang dipermasalahkan cuma pasal-pasal yang dirasa mengancam kemerdekaan itu, bukan semuanya.
Ahhhh gaya mu,,, nag2,,,jangan terlalu sok!!!!!
UU ITE TIDAK MENGANCAM HAK ASASI MANUSIA
(Tanggapan untuk Aliansi Nasional Reformasi Hukum Telematika Indonesia)
Beberapa kalangan yang tidak setuju dengan ditetapkannya Rancangan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) menjadi Undang-Undang selalu menjadikan Hak Asasi Manusia sebagai argumen utama mereka. Mereka berpendapat bahwa larangan enyebarluaskan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan, yang memuat penghinaan, yang memuat SARA, sebagai alat pemerintah untuk mengekang kebebasan berekspresi seseorang. Apa benar demikian?
Mari kita lihat legal reasoning-nya. Kita tengok konstitusi kita, UUD 1945. Pasal 28 J UUD 1945 berbunyi Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Ketentuan konstitusional ini sangat jelas mendukung kebebasan setiap orang untuk berkomunikasi lewat media apa pun, termasuk lewat media elektronik (internet). Kita sepakat. Saya juga sepakat dengan hal ini.
Namun ketentuan konstitusi kita tidak berhenti di situ. Mari kita lihat Pasal 28 J Ayat (1) : Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Lebih tegas, Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 : Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Apa artinya? Ini menunjukkan bahwa konstitusi kita sudah secara komprehensif mengatur hak asasi manusia dan kewajiban asasi manusia. Sederhanya begini. Anda bebas berekspresi. Saya juga bebas berekspresi. Kebebasan Anda tentu ”dibatasi” dengan kebebasan Saya. Begitu juga sebaliknya, kebebasan Saya tentu ”dibatasi” dengan kebebasan Anda. Nah bagaimana cara ”membatasi” Anda dan Saya? Negara memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan oleh konstitusi untuk mengatur itu ke dalam produk peraturan perundang-undangan. Nah, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (LN 58, TLN, 4843) adalah salah satu wujud tanggung jawab Negara untuk mengatur kegiatan di bidang Teknologi Informasi.
Saya ingin menanggapi Pernyataan Sikap Bersama Aliansi Nasional Reformasi Hukum Telematika Indonesia (ANRHTI) yang menyatakan bahwa ”UU ITE Mengancam Kemerdekaan Berpendapat dan Kebebasan Berkespresi di Indonesia” seperti yang termuat dalam blog http://www.anggara.org.
Mari kita baca satu persatu. ARTHI menulis : ”Dalam Konsideran
Mengingat UU ITE sama sekali tidak mencantumkan ketentuan apapun tentang Hak Asasi Manusia, oleh karena itu dalam pandangan Aliansi UU ini telah menunjukkan watak aslinya yang mengabaikan Hak Asasi Manusia”. Mengapa penyusun UU ITE tidak memasukan konsideran HAM ke dalam UU ini, adalah tidak lain karena penyusun UU ITE menyadari dari awal bahwa pengaturan Hak Asasi Manusia sudah diatur oleh UUD 1945, dan secara khusus sudah diatur oleh Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Artinya, tak ada keharusan bagi penyusun UU ITE untuk memasukkan konsideran HAM. Mari kita membaca seluruh peraturan perundang-undangan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh, jangan melihat secara spasial dan parsial. Atas argumen ini, saya berpendapat bahwa pernyataan ANRHTI bahwa ”UU ITE mengabaikan Hak Asasi Manusia” adalah tidak berdasar.
ANRHTI menulis : UU ITE ini juga tidak mempunyai kejelasan tujuan yang hendak dicapai sebagaimana yang disyaratkan dalam UU No 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU ini telah jauh melenceng dari misi awalnya yang hendak melindungi perdagangan dan transaksi elektronik.
Pasal 4 UU ITE, secara jelas memuat tujuan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu:
a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;
b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
c. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
d. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab;
e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.
Apakah ke-5 tujuan UU ITE ini tidak terejawantahkan ke dalam ketentuan pasal-pasal yang lain? Jika ada yang menjawab ya, tentu ia sangat naif. Cakupan materi UU ITE sudah sangat jelas menunjukkan kepekaan pemerintah terhadap pemanfaatan TIK di Indonesia. Silahkan membaca sendiri UU ITE secara seksama dan dengan kepala dingin.
Lebih lanjut ANRHTI berpendapat bahwa setidaknya ada 7 ketentuan dalam UU ITE yang berpotensi mengancam diantarnya adalah Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 31 ayat (3), Pasal 40 ayat (2), Pasal 45 ayat (1), dan Pasal 45 ayat (2).
Mari kita lihat satu per satu.
Pertama, Pasal 27 ayat (1) UU ITE, berunyi. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Apakah Negara salah, ketika dia mengatur illegal content. Seperti saya sampaikan di muka, bahwa dalam pasal 28 J ayat (1) UUD 1945 jelas dinyatakan bahwa setiap orang wajib menghormati Hak Azasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kemudian dalam ayat (2) dinyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Hal ini juga selaras dengan pasal 23 dan 73 dari UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. Karenanya tidaklah salah jika dalam UU ITE terdapat adanya ketentuan tentang Konten (content regulation) yang bersifat melawan hukum, yang pada hakekatnya adalah pembatasan terhadap kebebasan berekspresi, berinformasi dan berkomunikasi dalam rangka melindungi HAM orang lain. Best practice di negara-negara lain, illegal content juga dilakukan.
Kedua, Pasal 27 ayat (3) tentang larangan memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Di negara kita yang memegang adat ketimuran, menjunjung tinggi kesusilaan adalah suatu keniscayaan. Melakukan pencemaran nama baik dan fitnah, di negara mana pun di dunia ini tetap dianggap bertentangan dengan universal values.
Ketiga, Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang memuat larang penyebaran informasi elektronik yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Untuk diketahui, Pasal ini didasari oleh adanya First Additional Protocol to the Convention on Cybercrime concerning the criminalisation of acts of racist and xenophobic nature committed through computer system (2006), yang pada esensinya menghendaki jangan sampai ada penyebaran informasi yang bersifat menyebarkan rasa kebencian (hatred) ataupun permusuhan berdasarkan SARA melalui sistem komputer dan/atau internet. Jadi, para penyusun UU ITE sama sekali tidak menciptakan suatu ketentuan yang tidak merujuk pada best practice Negara lain atau ketentuan konvensi internasional.
Keempat, Pasal 31 ayat (3) UU ITE menyebutkan “Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang”. Apa yang salah dengan ketentuan ini?
Memang benar bahwa tindakan intersepsi atau penyadapan terhadap informasi dan/atau dokumen elektronik adalah tindakan melawan hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 31 ayat (1) UU ITE. Intersepsi hanya bisa dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. (Pasal 31 ayat (3) UU ITE.Tatacara Lawful Interception akan diatur secara detil dalam Peraturan Pemerintah tentang Lawful Interception. Intinya bahwa penegak hukum harus mengajukan permintaan penyadapan kepada operator telekomunikasi, atau internet service provider yang diduga menjadi sarana komunikasi dalam tindak kejahatan. Jadi permintaan intersepsi tidak dilakukan kepada Depkominfo. Tak ada yang perlu dicemaskan dengan ketentuan lawful interception ini.
Kelima, Pasal 40 ayat (2) UU ITE menyebutkan bahwa Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Lagi-lagi saya bertanya: Apa yang salah dengan aturan ini? Apakah Pemerintah dinilai berlebihan ketika bertindak atas nama ketertiban umum? Tolong ANRHTI lebih mengeksplorasi apa yang salah dengan ketentuan ini, sehingga saya bisa menyampaikan argumen yang pas.
Keenam, Pasal 45 ayat (1) UU ITE : Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).Mengapa harus enam tahun dan 1 miliar? Kita lihat ketentuan Cyber Law Singapura yang mengenakan Max 1 Tahun dan SGD 1 Miliar serta Cyber Law Romania yang mengenakan ancaman 3 sampai dengan 12 tahun atau pelanggaran yang sama. Memang ketentuan ini, nampaknya lebih “kejam” dari KUHP. Tapi patut diingat bahwa KUHP adalah produk hukum yang sudah sangat tua, yang mendasarkan ketentuan-ketentuan hukumnya pada zamannya, jauh sebelum TIK ada. Lagipula, kita menggunakan ketentuan maximum, bukan minimum. Artinya, kita memberikan kebebasan kepada hakim untuk menetukan vonis, yang intinya maksimal enam tahun dan denda 1 miliar. Jika dalam kasus-kasus “ringan”, si Hakim menjatuhkan vonis 1 bulan penjara dan denda Rp.100 ribu adalah sah-sah saja.
Ketujuh, Pasal 45 ayat (2) UU ITE : Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Saya tak perlu berpanjang lebar menjawab soal ini, lihat jawaban saya pada poin ‘keenam’, sebab pertimbangan yuridis, sosiologis dan filosofis atas kedua “gugatan ANRHTI” adalah sama.
Atas pertimbangan-pertimbangan yang sangat “dangkal” itu, ANRHTI menyatakan sikap:
1. Menolak kontrol negara atas kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan pers, dan kebebasan berekspresi dalam segala bentuknya di Indonesia;
2. Mengecam ketentuan-ketentuan dalam UU ITE yang mengancam
kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan pers, dan kebebasan berekspresi dalam UU ITE
3. Mendesak agar pemerintah segera melakukan amandemen terhadap UU ITE agar sesuai dengan kewajiban-kewajiban Internasional Indonesia dalam konteks hak asasi manusia dan juga tidak melanjutkan pembahasan RUU TIPITI yang sangat mengancam kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan pers,
dan kebebasan berekspresi di Indonesia
4. Menyerukan agar seluruh komponen masyarakat sipil di Indonesia untuk mengawasi dengan ketat setiap pembuatan peraturan perundang-undangan di DPR agar tidak bertabrakan dengan ketentuan-ketentuan tentang Hak Asasi Manusia
Tanggapan saya:
1. Menyesalkan sikap antipati ANRHTI yang secara tergesa-gesa membaca UU ITE tanpa memahaminya secara seksama. UU ITE ini masih kurang dari sebulan usianya, orang yang paling bijak sekalipun tak akan bisa menilai rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dari UU ITE yang belum lama usianya. Mari kita lihat implementasi UU ITE ini dalam beberapa waktu ke depan.
2. Pemerintah tidak akan melakukan review atas UU ITE sebelum ada perintah dari Mahkamah Konstitusi yang memiliki wewenang untuk melalukan judicial review atas UU ITE ini jika ada pihak yang menyampaikan permohonan judicial review.
3. Pemerintah dan DPR belum sama sekali membahas RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi (Tipiti). Saat ini, Pemerintah sedang menyusun Naskah Awal RUU TIPITI, dan sama sekali belum menyampaikannya secara resmi kepada DPR. Dalam kaitan dengan ini, Pemerintah tidak bertanggung jawab atas beredarnya beberapa naskah RUU TIPITI di beberapa forum milis, sebab RUU TIPITI yang resmi belum ditetapkan oleh Pemerintah.
4. Meminta ANRHTI dan pihak-pihak yang merasa dirugikan hak konstitusional (constitutional rights)-nya untuk melakukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi.
Salam,
Ferdinandus Setu.
Bagian Hukum Ditjen Aplikasi Telematika
Depkominfo, Mahasiswa Pascasarjana FH UI
Alumni FH UGM
UU ITE TIDAK MENGANCAM HAK ASASI MANUSIA
Tanggapan saya:
1. Menyesalkan sikap antipati ANRHTI yang secara tergesa-gesa membaca UU ITE tanpa memahaminya secara seksama. UU ITE ini masih kurang dari sebulan usianya, orang yang paling bijak sekalipun tak akan bisa menilai rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dari UU ITE yang belum lama usianya. Mari kita lihat implementasi UU ITE ini dalam beberapa waktu ke depan.
2. Saya berpendapat bahwa Pemerintah tidak akan melakukan review atas UU ITE sebelum ada perintah dari Mahkamah Konstitusi yang memiliki wewenang untuk melakukan judicial review atas UU ITE ini jika ada pihak yang menyampaikan permohonan judicial review.
3. Pemerintah dan DPR belum sama sekali membahas RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi (Tipiti). Saat ini, Pemerintah sedang menyusun Naskah Awal RUU TIPITI, dan sama sekali belum menyampaikannya secara resmi kepada DPR. Dalam kaitan dengan ini, Pemerintah tidak bertanggung jawab atas beredarnya beberapa naskah RUU TIPITI di beberapa forum milis, sebab RUU TIPITI yang resmi belum ditetapkan oleh Pemerintah.
4. Meminta ANRHTI dan pihak-pihak yang merasa dirugikan hak konstitusional (constitutional rights)-nya untuk melakukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi.
Salam,
Ferdinandus Setu.
Bagian Hukum Ditjen Aplikasi Telematika
Depkominfo, Mahasiswa Pascasarjana FH UI
Alumni FH UGM
ooooo mas Setu lulusan UGM yaaa ? salam buat ROY SURYO…..
🙂
Pada Selasa, 30 April 2008 lalu, MK menolak permohonan Masyarakat Film Indonesia (MFI) untuk membubarkan Lembaga Sensor Film (LSF). Lewat Putusan No. 29/PUU-V/2007, MK menolak keinginan MFI untuk membekuk LSF. Alasan yang dipakai MK adalah bahwa Negara berhak membatasi kebebasan berkespresi warga negaranya dengan Undang-Undang sebagaimana tertuang dalam Pasal 28 J UUD 1945. Apa implikasinya buat UU ITE? Tentu sangat jelas. Beberapa ketentuan Pasal UU ITE yang dinilai “membatasi” kebebasan berekspresi seseorang, adalah wujud nyata dari tanggung jawab negara untuk sedikit “membatasi” kebebasan berekspresi tersebut, tentu bertujuan untuk sesuatu yang lebih baik, lebih luhur. (Untuk mendapatkan putusan lengkap MK, silahkan download di http://www.mahkamahkonstitusi.go.id).
Salam,
Ferdinandus Setu
@zka
merdeka juga
@iwan
masak sih, coba baca lagi yang benar, disitu ada 7 pasal yang punya potensi melanggara HAM
@herman saksono
terima kasih sudah berkunjung dan memberikan pendapatnya pak
@nando
saya nggak tahu apakah anda mewakili menkominfo atau tidak, kalau iya sebaiknya anda menunjukkan surat kuasa atau surat tugas. saya tidak ingin membuat pertentangan ini secara pribadi dengan anda. soal dokumen liar coba cek pemberitaan hukumonline ini http://hukumonline.com/detail.asp?id=9147&cl=Berita jadi saya pikir itu bukan dokumen liar.
soal sensor, sebaiknya anda baca dengan baik dan benar bunyi putusannya jangan terburu-buru menyimpulkan itu sesuai dengan konstitusi ketentuan sensor itu konstitusional bersyarat
@reinhard
no comment dah bang he…he…he…
@Nando
Daripada Depkominfo sensor internet, rasanya lebih baik sinetron disensor. TV kan sensornya mestinya lebih ketat daripada internet. Tapi kok kita masih kebablasan dengan cerita dimana anak-anak diajari membunuh kakeknya.
@anggara
Secara tugas pokok dan fungsi saya yang bekerja di Bagian Hukum Direktorat Jenderal Aplikasi Telematika Departemen Komunikasi dan Informartika, saya tak perlu surat tugas atau apa pun namanya dari Menkominfo untuk menanggapi berbagai pro dan kontra terhadap UU ITE. Saya berkewajiban menyampaikan pendapat saya, apalagi urusan UU ITE ini adalah tupoksi saya.
Soal berita hukum online yang kamu sampaikan itu, lihat lagi deh, itu berita kapan? Itu berita sudah jadul banget, tahun 2003. Dan jelas sekali bahwa yang menyusun RUU Cyber Crime tersebut bukan dari kalangan Pemerintah. Jadi Pemerintah tidak bertanggung jawab atas naskah tersebut.
Soal sensor, memang benar bahwa Putusan MK itu konstitusional bersyarat, namun soal lembaga sensor film, putusan itu jelas, MK menganggap itu tetap penting, tetap harus ada.
@rere
Akan saya sampaikan salamnya (kalau ketemu hehehe)
Wuah… seru orang2 hukum berbeda pendapat.
saya selaku orang awam dipojokan ajah. jongkok nontonin sembari ngerokok dengan sekaleng bir. huehehhee…
@nenda
setuju… Hidup Titie Said!! Entah kenapa nama itu terlontar keluar dari otak tumpul saya…
BSF tetep harus ada! merdeka!! Kembalikan reformasi pada relnya! Haleluya!!
@Ferdinandus Setu
aduh bung, silakan baca lagi Putusan MK nya secara perlahan-lahan dan lebih teliti…Tidak ada sama sekali dalam putusan yang menyebutkan bahwa lembaga sensor harus tetap ada dan malahan disebutkan sudah ketinggalan jaman. Putusan MK itu konstitusional bersyarat karena untuk menjaga kekosongan hukum bila ketentuan tentang sensor tersebut diputus bertentangan dengan UUD 1945.
Oh ya, tolong tak perlu membawa-bawa nama almamater FHUI sebagaimana post anda yang lalu jika kalau hanya membaca putusan MK tentang Sensor itu saja anda melakukan kelalaian. Terima Kasih.
@Clay Carter
Bung, baca kembali putusan MK secara utuh…Saya kutip dua paragraf diantaranya, berikut ini:
“Dalil para Pemohon yang menganggap bahwa norma yang mengatur
keberadaan sensor dan lembaga sensor (LSF) telah membatasi
kebebasannya untuk berkreasi (mengembangkan diri) adalah benar.
Namun pembatasan demikian dimungkinkan oleh Pasal 28J ayat (1)
dan (2) UUD 1945, yang intinya bahwa setiap orang wajib
menghormati hak asasi orang lain dan setiap orang dalam
menjalankan hak dan kebebasannya wajib tunduk kepada
pembatasan yang telah ditetapkan dengan undang-undang.
Dengan demikian, suatu institusi yang berfungsi melakukan penilaian
atas suatu film yang akan diedarkan ke masyarakat, apapun namanya,
yang dibentuk oleh negara bersama masyarakat perfilman, memang
tetap dibutuhkan agar film yang diedarkan tidak menganggu atau
merugikan HAM orang lain”. (Putusan MK 29/PUU-V/2007)
Satu hal yang saya mau praktikkan di dunia maya : tunjukkan siapa diri kita yang sebenarnya, sebab itulah yang melatarbelakangi pemikiran dan pandangan kita, termasuk latar belakang pendidikan kita. Jadi tak ada masalah dengan almamater atau apa pun.
@orangutanz
terima kasih atas tanggapannya, namun BSF buat saya harus diubah menjadi lembaga klasifikasi film
@clay
saya sepakat dengan anda, bung nando ini tidak membaca putusan MK dengan baik dan teliti
@nando
Soal surat kuasa dan surat tugas itu sebenarnya untuk menunjukkan dalam kapasitas apa anda memberi pernyataan, dalam tanggapan disini, anda menggunakan kata ganti “saya” sementara di beberapa bagian kecil lainnya anda menggunakan frasa “kami” (atau Depkominfo). Lagipula mana saya tahu anda pegawai depkominfo atau bukan, kalau anda tidak bisa menunjukkan surat tugas atau surat kuasa. Dan dari sisi golongan PNS (saya duga anda dalam golongan III A/Eselon IV), kapasitas anda juga tidak dalam kapastitas mewakili depkominfo, karena anda hanya bagian kecil dari sebuah Direktorat Jenderal di Depkominfo, beda kalau yang memberi pernyataan adalah Direktur Jenderal Aptelnya sendiri. Dan kalau anda akan ke PTUN mewakili depkominfo, anda juga tidak bisa hanya berkata bahwa “tupoksi (entah singkatan apa ini) saya memberikan saya kewenangan” kepada hakim kan? Maka untuk itu dibutuhkan yang namanya surat kuasa atau surat tugas. Ini sebetulnya soal teknis, tetapi porsinya cukup penting 🙂
Soal kesusilaan, saya sarankan anda untuk membaca Catatan Lepas-nya Prof JE Sahetapy, Ketua KHN, dalam Newsltter Vol 7, No 3. November – Desember 2007, kalau enggak punya, silahkan anda minta ke KHN. Mudah-mudahan setelah membaca Catatan Lepas tersebut, anda bisa menentang pendapat salah satu ahli hukum terkemuka di Indonesia itu dengan segala argumentasi hukumnya.
LSF dan Sensor sah? Wah coba baca lagi dengan benar, termasuk membaca spirit dari konstitusional bersyarat tersebut. Dan tahu-tahu kenapa anda bicara soal sensor? Apa depkominfo sedang mempersiapkan sensor, padahal dalam pernyataan Aliansi ini, tidak bicara sama sekali soal sensor?
Soal RUU TIPITI yang dipersiapkan pihak lain, buat saya pribadi bukan persoalan penting, seperti halnya RUU Perubahan UU Pers yang Menkominfo nyatakan sebagai dokumen liar (sepertinya harus mengecek lagi DIPA pada 2000 – 2003, adakah bicara soal tender pembuatan RUU TIPITI?) Persoalan penting, menurut saya adalah bahwa tanpa pengawasan, maka RUU TIPITI ini akan kembali membunuh kebebasan berekspresi di Indonesia, itu semangat yang harus anda tangkap. Dari pernyataan anda saja sudah tersirat, bahwa penyiapan Naskah Akademik dan RUU TIPITI akan dilakukan secara diam-diam 🙂
Anyway, dengan jalan berpikir anda tersebut, saya sepertinya agak yakin, kalau misalnya tidak ada MK, maka anda akan bicara bahwa Pasla 134, 136 bis, 137, 154, dan 155 KUHP adalah sah dan tidak bertentangan dengan HAM. Dan jika saja Presiden RI masih punya hak-hak luar biasa sebagaimana dimiliki oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda dulu, maka saya juga agak yakin, bahwa hak-hak tersebut juga akan anda nyatakan sah dan tidak bertentangan dengan HAM. Tapi mudah-mudahan saya salah, maklum saya hanya bloger biasa dan bukan mahasiwa pasca sarjana (di UI lagi).
@anggara:
Soal Surat kuasa, kita tidak sedang diPTUN, jadi saya tak perlu memperpanjang soal ini. Bahwa ketika ada wacana yang membahas keberadaan UU ITE, saya sebagai salah satu bagian Depkominfo berhak untuk menyampaikan pendapat. Karena wacana itu muncul di blog ini, saya pun menyampaikan langsung ke blog ini.
Kenapa saya mengangkat putusan MK? Jelas karena dalil yang dipakai MK adalah Pasal 28 J UUD 1945.
Anda yang menyimpulkan sendiri bahwa beberapa pasal KUHP (Pasal 134, 136 bis, 137, 154, dan 155 KUHP) tidak bertentangan dengan HAM, bukan saya. (jadi saya tak perlu menanggapi, hehehe)
Soal belajar dan menyampaikan pendapat, tak mesti harus kuliah, bukanlah “semua tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru dan semua aktivitas adalah belajar?” (Saya melihat Anda sebagai Blawger bukan bloger biasa, dan saya sangat menghargai itu). Salam…
@nando
kenapa ndak perlu dibahas? aneh, soal putusan MK, coba jangan hanya sepintas lalu dan mengabaikan fakta pentingnya, clay sudah mengungkapkan fakta pentingnya
soal pasal2 KUHP karena anda berpendapat bahwa “Di negara kita yang memegang adat ketimuran, menjunjung tinggi kesusilaan adalah suatu keniscayaan. Melakukan pencemaran nama baik dan fitnah, di negara mana pun di dunia ini tetap dianggap bertentangan dengan universal values.” artinya kalau menghina presiden lalu dipenjara itupun wajar karena adat ketimuran yang anda maksudkan itu. Soal universal values, hmmm, coba lihat rekomendasi dari HRC (sayang Indonesia nggak mau mengakui yurisdiksi badan ini untuk pengawasan KIHSP) soal Pasal 19 KIHSP 🙂 salam kembali
Mas, numfang nanya.
*Pernyataan sikap seperti di atas, apakah menimbulkan akibat hukum?
*apakah pernyataan sikap seperti itu secara langsung dapat mengubah isi dan pelaksanaan dari UU ITE?
*ataukah pernyataan sikap tersebut hanya sekedar untuk memenangkan simpati dan opini publik belaka (ya seperti pengacara artis gitu deh yang perang opini di media).
mohon kejelasannya Mas.
terimakasih. 🙂
Saya setuju dengan Aliansi ini.
UU ITE memang berpotensi melanggar HAM
Hak Asasi Menyebarkan pornografi
Hak Asasi Melakukan illegal access
Hak Asasi Menyebarkan Viruss
Hak Asasi Merusak Sistem Elektronik
Hak Asasi Merusak Data
@norie
ya jelas enggak ada akibat hukumnya dan mudah2an bisa mengubah pelaksanaan uu ite, soal simpati dan opini publik menurut saya tidak tepat tapi ini adalah media pendidikan untuk masyarakat (jadi jelas beda dengan pengacara artis) 🙂
@ikah
emosional sekali ya, coba baca dengan baik 🙂
UU ITE tidak melanggar HAM justru menjunjung HAM. Filosofi HAM seperti termuat dalam UUD 1945 adalah mengendalikan kebebasan seseorang agar tidak melanggar kebebasan orang lain. Saya kira filosofi ini mudah dimengerti. Demikianlah makna HAM dan juga tersirat dalam UU ITE ingin mengatur kebebasan seseorang agar harkat, martabat, hak asasi orang lain tidak terlukai.
Salam
@ronny
salam juga 🙂 mudah2an anda mampu belajar membaca dengan baik dan benar
Waspadai Kaum Materialis Berbaju Nasionalis ini Yang Ingin Merongrong Nilai Pancasila Dengan Tuntutan Kebebasan Ala Materialisnya Yang Mengganggu Kebhinekaan Bangsa Kita.
@satria pancasila
terima kasih untuk komentarnya
untuk melihat UU ITE melanggar Ham atau Tidak kita cermati dengan penyulusuran UU yg bersangkutan,yaitu :
Pembatasan Kebebasan Berpendapat dalam konstitusi dapat ditemukan dalam Pasal 28 J UUD 1945. Namun ketentuan pasal 28 J ini sering disalahgunakan terutama oleh para penentang hak asasi manusia di Indonesia. Namun patut dicermati pendapat dari salah seorang pakar hukum Indonesia, yaitu Dr Nono Anwar Makarim yang menyatakan bahwa pembatasan berdasarkan Pasal 28 J harus memenuhi tiga syarat yaitu pembatasan diperlukan untuk menghormati hak dan kebebasan orang lain, pembatasan itu dilakukan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum, dan pembatasan tersebut diperlukan dalam sebuah masyarakat demokratis
Syarat-syarat yang dikemukakan dalam Pasal 28 J tentunya harus dapat dioperasionalkan dalam tataran praktis. Untuk itu rujukan operasional dalam Pasal 28 J adalah konstruksi pembatasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (KIHSP), maka pembatasan hanya diperkenankan sepanjang untuk menghormati hak dan reputasi orang lain, melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan masyarakat atau kesusilaan.
Namun, penting dilihat implementasi dari Pasal 19 ayat (3) KIHSP ini yang dikenal dengan Uji Tiga Rangkai. Uji tiga rangkai ini sendiri berasal dari putusan Human Rights Committee dalam kasus Keun-Tae Kim v. Republic of Korea, No. 574/1994 [64]. Putusan tersebut menyatakan bahwa agar suatu pembatasan terhadap hak kebebasan berpendapat dapat dilakukan haruslah mengikuti persyaratan kumulatif, yaitu: bahwa pembatasan harus dilakukan melalui hukum, dan dilakukan untuk tujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (3) KIHSP, dan pembatasan itu diperlukan untuk mencapai tujuan yang sah tersebut. Selain itu ketentuan lebih lanjut tentang tujuan yang sah dapat juga dirujuk pada The Johannesburg Principles on National Security, Freedom of Expression and Access to Information, Freedom of Expression and Access to Information (U.N. Doc. E/CN.4/1996/39 (1996).
waduh untuk The Knight of Pancasila,,
jng terlalu berharap deh..
Indonesia tuh TIDAK pernah MENJALANKAN pacasila dengan sepenuhnya…
KAPAN COBA INDONESIA MENJALANI pacasila?coba terangkan pada masa pemerintah sapa?
@sontog
kayaknya ambil tulisan saya yaa
Salam hormat,
1. Pernyataan sikap ALIANSI, sepertinya bentuk alternatif baru di luar “legislative-review” (DPR) dan “judicial-review” (MK), yaitu “self-review” (seingat saya pernah disinggung Habermas dalam Between Facts & Norms) — yang dilakukan sebagian warga negara utk mengapresiasi produk legislasi yang tidak bersifat imperatif.
2. Tafsir atas HAM dan tekno-informasi yang dilakukan ALIANSI, tepat kiranya sebagai self-review untuk mengembangkan apa makna HAM di dunia komputer yg relatif awam bagi ilmuwan hukum. Secara pribadi, sebagai pengguna Linux-Mandriva (edisi free-spring 2008.1 dan ubuntu studio 8), saya berpikir mungkin saya relatif bebas berekspresi dalam lingkup sistem operasi komputer. UU ITE hampir tak bisa menyentuh perilaku “pengguna open source” dan aplikasi Open Office dll. Kode-kode berlisensi (Microsoft) yang secara implisit dimaksudkan pada UU ITE, tidak punya keberlakuan kaidah hukum terhadap Linux-er. Adapun soal cracker, sekalipun ada norma larangan, UU ITE memberikan norma bolehan yaitu uji keamanan jaringan sebatas untuk penelitian atau keperluan hukum. Tantangannya adalah sejauhmana Ilmu Hukum Telematika mampu melingkupi dan memilah mana ahli kejahatan dan mana ahli keamanan jaringan komputer, mana cracker & mana hacker –untuk kedua istilah ini, saya sedikit “berguru” pada http://www.echo.or.id.
3. Saya apresiatif dengan cara pandang ALIANSI & penting bagi kehidupan sehari-hari ttg HAM. Contoh, teman saya pengusaha warnet bermodal 7 PC bertanya, “kapan ada operasi terhadap software bajakan di warnet?” Ia sadar perangkat elektroniknya penuh dengan kode hasil “cracking”, microsoft-nya palsu, tapi pelanggannya banyak karena suka friendster & online games. Soal komputer “ngadat” dan billing-nya “rusak”, itu sudah resiko pakai OS “cracking” yang mungkin belum canggih. Tapi, penggunaan OS hasil “cracking” itu dikhawatirkannya terjerat penegak UU ITE. Nah, perdebatan DOGMATIK-yuridis ataupun GRAMATIKAL-yuridis tentang HAM & tekno-informasi yang bermutu dalam blog ini, lebih lengkap kiranya bila kita menoleh nasib warga negara (baca: pengusaha kecil warnet) sbg viktim dari korporasi-internasional dan maaf, penegak ITE di kemudian hari bila nyata terjadi. Di sisi lain, IGOS Dwiwarna atau IGOS Nusantara, masih ragu-ragu ia gunakan sebagai basis bisnis warnet yang stabil. Sepenggal contoh ini, membuat saya berpikir: hak dasar / HAM yang melekat padanya sekedar disadari ada sebagai nilai-nilai fundamental, tapi berada dalam suatu kondisi interegnum & chaotik. Belum ada kepastian mengenai bentuk HAM dalam bentangan luas keilmuan computer science di Indonesia.
4. Promosi besar dari UU-ITE, itupun saya pahami waktu berhenti di lampu merah Tugu Pancoran adalah tulisan besar yang kira-kira menunjuk pada perlindungan terhadap praktik e-commerce. Hemat saya, ini kemajuan dalam bidang hukum telematika perdata, baik materiil maupun formiil. Namun, mohon dibedakan antara tataran hukum yang aplikatif dan tataran HAM yang di-“self review” oleh ALIANSI. Tataran hukum aplikatif biarlah berguna bagi yang berkepentingan; namun tataran HAM untuk telematika berimplikasi pada perdebatan yang lebih fundamental. Saya setuju agar UU ITE dapat diuji di MK, sekaligus menandai era baru persinggungan antara Computer Science & Legal Science yang masih seumur jagung.
5. Agak melompat sedikit, saya ingat ceramah & adagium zaman Sahetapy dan guru-guru hukum pidana lain: dalam perdebatan pidana, sedapat mungkin terhindar dari “analogi”. Keluasan pendapat melalui analogi pasti mudah ketemu, apalagi temanya adalah komputer-konstitusi-HAM. Hanya saja, ujungnya menjadi relativistik karena objek hukum pidana yang segmented tercampur dengan objek hukum tata negara yang fundamental.
Saya tertarik untuk menelusuri perdebatan di blog ini lebih lanjut, bagaimana cara pandang ilmuwan hukum memandang komputer, dan sebaliknya. Sebuah UU mungkin sempurna gramatika dan normanya, tapi ada satu lagi faktor legitimasi dalam terbitnya UU: yakni, komunikatif atau tidak bagi “user”. Yah…sekedar untuk mencari jalan lain di luar dogmatisme & fakta-isme dalam keilmuan hukum Indonesia yang masih perlu ter-update “kernel teori hukumnya”…(hehehe).
Salut untuk kritis-isme ALIANSI.
Terima kasih, maaf bila ada kalimat yang kurang sopan.
putra.
@putra
terima kasih atas pendapatnya
Nando.., terus terang aku sangat kaget melihat metamorfosis dirimu selepas kuliah. Dulu selama kamu aktif di MAHKAMAH, kamu paling kritis terhadap Pemerintah. Tapi sekarang kamu justru mati2an membela Pemerintah (persis kayak abang kita: Denny Indrayana). Barusan kita (sesama alumni Jalan Sosio Yustisio) sedikit ngbrolin mengenai metmorfosa dirimu. Antara dulu dan sekarang…
@paijo
hehehehehehehe
kok pandangan di situs ini beda dengan pendapat mas Ronny pada :
http://www.ronny-hukum.blogspot.com
yang mana yang benar?
@andre
menurut anda yang mana
saia sedang menganalisa tentang UU ITE,,
untuk para cracker dan Hacker..mohon bantuannya..
thx..
saia berpihak pada anda!!