CR KUHP: Kesimpulan
Jakarta, 7 Agustus 2008
Kepada Yth:
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI
Melalui
Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Jl. Medan Merdeka Barat No 6
Jakarta
Perihal : Kesimpulan Para Pemohon Dalam Perkara No 14/PUU-VI/2008 tentang Pengujian Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), Pasal 311 (1), Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dengan hormat,
Perkenankan kami,
HENDRAYANA, S.H., SHOLEH ALI, S.H., MUHAMMAD HALIM, S.H., ANGGARA, S.H., MIMI MAFTUHA, S.H., ADIANI VIVIANA, S.H., IRSAN PARDOSI, S.H., BAYU WICAKSONO, S.H., NAWAWI BAHRUDIN, S.H., E. SUMARSONO, S.H.
Kesemuanya adalah Advokat/Pembela Umum dan Asisten Advokat/Asisten Pembela Umum dari Kantor Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) yang beralamat di Jl. Prof. Dr. Soepomo, SH., Komp. BIER No. 1A, Menteng Dalam, Jakarta Selatan – 12870, Telp (021) 8295372, Fax (021) 8295701, Website: www.lbhpers.org, email: lbhpers@yahoo.com, dalam hal ini bertindak baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk dan atas nama:
1. Risang Bima Wijaya, S.H, lahir di Bangkalan, 5 Oktober 1973, Agama Islam Pekerjaan Pemimpin Umum Radar Jogja, Kewarganegaraan Indonesia, Alamat Perum Griya Abadi No. 1-2 Rt. 004, Rw 001 Desa Bilaporah, Kecamatan. Socah, Kabupaten. Bangkalan, Propinsi Jawa Timur, untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon I.
Berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 19 Maret 2008 (surat kuasa terlampir).
2. Bersihar Lubis, lahir di Gunung Tua Tapanuli Selatan, 25 Februari 1950, Agama Islam, Pekerjaan wartawan/kolumnis, Kewarganegaraan Indonesia, Alamat Perum. Depok maharaja Blok D No. 06 Rt.04/15 Kel. Rangkapan Jaya, Kec. Pancoran Mas Kota Depok untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon II.
Berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 24 Maret 2008 (surat kuasa terlampir).
yang kesemuanya disebut sebagai Para Pemohon
Dengan ini Para Pemohon bermaksud untuk mengajukan Kesimpulan Dalam Perkara No 14/PUU-VI/2008 Perihal Pengujian Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), Pasal 311 (1), Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Untuk dan atas nama Para Pemohon, kami mengucapkan terima kasih atas digelarnya persidangan dalam permohonan yang diajukan oleh Para Pemohon yang telah berlangsung secara baik dan adil.
Persidangan ini sesungguhnya telah berlangsung dengan menarik dan penuh dengan argumentasi konstitusional dan hukum, dimana seluruh masyarakat Indonesia akan dapat menarik pelajaran yang berharga dalam menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia dalam koridor negara hukum yang demokratis dan berkedaulatan rakyat. Negara hukum bukanlah sesuatu barang jadi akan tetapi merupakan suatu cita, dimana sesungguhnya dalam pencapaiannya penuh dengan rintangan dan jalan terjal untuk mewujudkannya dalam praktek penyelenggaraan negara.
Untuk keperluan persidangan ini, maka Para Pemohon menyusun Kesimpulan sebagai penutup agar dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk dapat mengambil putusan yang berdasarkan konstitusi dan aspirasi keadilan yang berkembang di masyarakat
I. Pendahuluan
Indonesia, sebagai sebuah negara yang baru saja melepaskan diri dari pemerintahan yang otoriter, ternyata mengalami demam yang berkepanjangan. Demam tersebut adalah wajar, mengingat kejatuhan setiap pemerintahan sejak 1959 selalu disebabkan oleh desakan kekuatan “parlemen jalanan” akibat tindakan represif yang diambil pemerintah untuk membungkam kelompok oposisi, aktivis mahasiswa, dan pers.
Suasana kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan yang relatif terbuka dapat ditemukan pada saat diberlakukannya Konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Kecaman dan kritik yang dilontarkan kepada pemerintah dan/atau partai yang berkuasa tidak lagi dilakukan secara halus akan tetapi cenderung vulgar dan kasar, yang jika dinilai dengan kondisi saat ini sangat mungkin terkena tindak pidana penghinaan. Meski saat itu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dipakai masih sama dengan KUHP yang dipakai saat ini, namun pendekatan hukum pidana hampir-hampir tidak pernah dipakai untuk menghukum opini dan/atau berita yang berkembang di masyarakat. Tak pernah ada berita bahwa ada tokoh oposisi, aktivis mahasiswa, dan wartawan pernah dipidana hanya karena menyatakan pikiran dan pendapatnya di depan umum.
Meski Asa Bafagih, Pemimpin Redaksi Harian Pemandangan, pada 7 Oktober 1952, 18 Maret 1953, dan 29 Juni 1953, pernah diperiksa oleh Kejaksaan Agung, namun itu sama sekali tidak terkait dengan persoalan reputasi/ kehormatan, namun terkait dengan dugaan pembocoran rahasia negara. Itulah satu-satunya kasus yang terkait dengan wartawan dan pers sepanjang masa diberlakukannya UUDS 1950.
Namun setelah periode Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan berlakunya UUD 1945, gelombang penangkapan dan pemenjaraan terjadi terhadap tokoh oposisi, aktivis mahasiswa, aktivis pro demokrasi, dan wartawan karena mengkritik kebijakan pemerintah. Periode kelam tersebut terus menerus berlangsung sampai tumbangnya kekuasaan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 oleh gerakan mahasiswa.
Sejak 21 Mei 1998 itulah, Indonesia terus menerus berada pada masa transisi yang kadang kala penuh gejolak. Gejolak tersebut timbul dikarenakan adanya tarik-menarik yang cukup keras diantara sekelompok elit Indonesia yang hendak memenjara kembali hak-hak asasi manusia yang telah dijamin dalam UUD 1945 dengan sebagian besar masyarakat Indonesia yang berusaha mempertahankan hak-hak asasi manusia yang telah direbut dengan susah payah serta mengorbankan air mata, harta, benda, dan nyawa. Indonesia saat ini berada pada persimpangan jalan antara masa lalu yang sebagai negara yang dipimpin oleh kekuasaan, keserakahan, penindasan, dan korupsi dengan masa depan sebagai sebuah negara yang demokratis yang memberikan ruang bagi rakyatnya untuk menyatakan pikiran dan pendapatnya secara lisan dan tulisan, keadilan, dan penegakkan hukum.
Putusan dari Mahkamah ini akan menjadi sebuah penanda, ke arah mana cita negara hukum Indonesia ini akan ditempuh dan ke arah mana Indonesia akan melangkah. Putusan dalam perkara ini tidak hanya akan menyentuh kepentingan dari Para Pemohon namun akan menyentuh kepentingan dari seluruh masyarakat Indonesia di masa sekarang ataupun di masa datang.
II. Kemerdekaan Menyatakan Pikiran dan Pendapat Secara Lisan dan Tulisan Adalah Milik Seluruh Masyarakat Indonesia
Bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan adalah milik seluruh rakyat Indonesia. Tidak pernah ada satu ketentuanpun dalam Konstitusi yang pernah dimiliki atau sedang dimiliki oleh Indonesia menganugerahkan hak tersebut kepada hanya sekelompok orang.
Bahwa KUHP sebagai bagian dari hukum nasional juga berlaku terhadap setiap orang dan tidak hanya berlaku khusus terhadap kalangan tertentu dalam hal ini adalah wartawan.
Bahwa sejak awal pemerintah telah berupaya keras untuk mempersepsikan bahwa wartawan adalah kalangan yang menginginkan keistimewaan di depan hukum. Dan untuk itu Pemerintah berupaya dengan keras untuk mengkaitkan KUHP dengan UU Pers.
Bahwa persepsi demikian haruslah ditolak karena wartawan adalah bersamaan kedudukannya seperti warga negara Indonesia lainnya sehingga wartawan adalah juga subyek yang tunduk dan diatur oleh KUHP sebagaimana warga negara Indonesia lainnya dan juga profesi lainnya. Oleh karena itu Para Pemohon sepakat dengan pandangan yang tercermin dalam putusan-putusan dari Mahkamah Agung RI dan badan – badan kekuasaan kehakiman di bawahnya pada pokoknya telah menegaskan bahwa tidak ada perbenturan hukum antara KUHP dan UU Pers.
Bahwa menurut Dr. Mudzakkir, SH, MH pada Selasa 24 Juni 2008, saat itu mewakili Pemerintah c.q Tim Revisi KUHP, telah menyatakan:
“Intinya bahwa di dalam teknis perumusan hukum pidana itu dia selalu menggunakan “barang siapa” itu dalam peraturan KUHP atau mungkin sekarang sudah diganti dengan “setiap orang”. Itu berlaku untuk semua orang dan semua subjek hukum…oleh karena itu hukum pidana itu tidak ditujukan kepada orang tertentu atau orang yang menjalani profesi tertentu”.
Bahwa menurut Dr. Mudzakkir, SH, MH pada Selasa 24 Juni 2008, saat itu mewakili Pemerintah cq Tim Revisi KUHP, telah menyatakan:
“Pengenaan tindak pidana Pasal 310, 311, 316, dan 207 terhadap orang yang menjalankan profesi di bidang pers apabila memenuhi syarat-syarat melanggar kode etik atau standar profesi yang berubah menjadi melawan hukum pidana”,
maka pemidanaan terhadap wartawan tentu harus memenuhi syarat-syarat sedemikian berat.
Bahwa menurut Ahli Pemerintah Djafar Husin Assegaf pada 23 Juli 2008, menyatakan :
“reporter mencari berita, menulisnya, dan menyerahkannya kepada redaktur penyunting, redaktur penyunting memeriksa layak tidaknya berita tersebut disiarkan dan menyunting kesalahan fakta, setelah itu diproses dalam rapat redaksi yang kesemuanya bertujuan agar media di dalam proses beritanya tidak merugikan reputasi seseorang”
Bahwa jika diambil kesimpulan dari kedua pendapat tersebut, maka sesungguhnya wartawan haruslah tidak sangat mudah dijatuhi hukuman pidana mengingat betapa sulitnya proses dalam tubuh media saat menerbitkan atau menyiarkan beritanya dan juga syarat-syarat pemberlakuan hukum pidana terhadap orang yang menjalankan profesi tertentu.
Bahwa pada kenyataannya, meski proses dalam media sedemikian rumit dan kompleks, akan tetapi wartawan tetap mudah dijerat Pasal 310 ayat (1), 310 ayat (2), 311 ayat (1), 316, dan 207 KUHP.
Bahwa menurut Keterangan Pihak Terkait Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) yang diwakili oleh Rizal Mustary pada 23 Juli 2008 menyatakan:
“jika wartawan saja merasa ketakutan, persoalan yang muncul kemudian adalah tercerabutnya hak masyarakat untuk menyatakan pendapat”
Bahwa menurut Keterangan Pihak Terkait Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) yang diwakili oleh Rizal Mustary pada 23 Juli 2008 menyatakan:
“Penjara yang setiap saat terbuka untuk jurnalis sesungguhnya merupakan penjara yang mengancam publik untuk berpendapat dan berekspresi”
Bahwa sejak semula permohonan ini didaftarkan, kedudukan hukum dari Para Pemohon adalah sebagai warga negara Indonesia dan tidak semata-mata sebagai wartawan.
Bahwa hal ini sejalan dengan pikiran dari konstitusi yang menganugerahkan jaminan kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan kepada semua warga Indonesia dan bukan hanya terhadap wartawan sebagaimana terdapat dalam Pasal 28 E ayat (2) dan Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945.
Bahwa Pasal 28 I UUD 1945 telah menyatakan bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran adalah salah satu hak yang tidak dapat ditarik dalam kondisi apapun.
Bahwa jaminan konstitusional tersebut mempunyai aturan yang bersifat operasional yang dapat ditemukan dalam TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Piagam Hak Asasi Manusia, UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang diratifikasi melalui UU No 12 Tahun 2005.
Kesemuanya itu menunjukkan komitmen hukum, politik, moral, sosiologis, dan budaya dari masyarakat Indonesia terhadap perlindungan kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan pada khususnya dan hak asasi manusia pada umumnya.
III. Pemerintahan Yang Baik Adalah Pemerintahan Yang Taat Hukum dan Terbuka Untuk Dikontrol Oleh Masyarakat.
Bahwa hukum tidak boleh diartikan hanya sebagai Undang-Undang belaka namun juga aturan-aturan yang dibentuk melalui putusan-putusan pengadilan.
Bahwa sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, maka salah satu ciri pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang terbuka dikontrol oleh masyarakat.
Bahwa berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka salah satu ciri dari pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang selalu berdasarkan hukum dan taat kepada aturan-aturan hukum.
Bahwa meski terdapat putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa Pasal 134, 136 bis, 137, 154, dan 155 KUHP telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, namun berdasarkan data R KUHP versi 2008 yang didapat dari situs http://www.legalitas.org telah ditemukan kenyataan sebagai berikut
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) |
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) |
Pasal 134 Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden dihukum dengan hukuman penjara selama-lama enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus. |
Pasal 264 Setiap orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden, yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun |
Pasal 136 bis Perkataan penghinaan dengan sengaja dalam pasal 134 mengandung juga perbuatan yang diterangkandalam pasal 315, jika itu dilakukan kalu yang dihinakan tak hadir, yaitu baik dimua umum, tetap dihadapan lebih dariempat orang atau dihadapan orang lain, yang hadir dengan tidak kemauannya dan merasa tersentuh hatinya, akan itu, dengan perbuatan, atau dengan lisan atau dengan tulisan |
Pasal 265 Setiap orang yang dimuka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV |
Pasal 137 Barang siapa menyiarkan, mempertontonkan, atau menempelkan tulisan atau gambar yang isinya menghina Presiden atau Wakil Presiden dengan niat supaya isinya yang menghina itu diketahui oleh orang banyak atau lebih diketahui oleh orang banyak, dihukum penjara selama-lamanta satu tahun empat bulan atau denda sebayak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah. |
|
Pasal 154 Barang siapa dimuka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. |
Pasal 284 Setiap orang dimuka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. |
Pasal 155 ayat 1 Barang siapa menyiarkan, mempertotonkan atau menempelkan surat atau gambar, yang isinya menyatakan perasaan permusuhan terhadap pemerintah negara Indonesia, dengan maksud supaya isi surat atau gambar itu diketahui oleh orang banyak dihukum penjara selama-lamanya empat tahun dan enam bulan ataa denda sebanya-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah. |
Pasal 285 ayat 1 Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui oleh umum yang berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak kategori IV. |
Bahwa hal ini, cukup menunjukkan karakter dari sebuah pemerintahan yang tidak terbuka dan anti kritik serta tidak taat terhadap hukum.
Bahwa hal ini juga membuktikan bahwa para anggota Tim Revisi KUHP juga tidak menunjukkan sensitifitas yang tinggi pada ketaatan terhadap perintah dan/atau putusan pengadilan.
Bahwa menurut Dr. Mudzakkir, SH, MH pada Selasa 24 Juni 2008, saat itu mewakili Pemerintah cq Tim Revisi KUHP, telah menyatakan:
“Dalam berbagai pertemuan yang diselenggarakan oleh tim atau oleh Departemen Hukum dan HAM materi tindak pidana penghinaan tidak termasuk materi yang menjadi pokok pembahasan yang serius dan berat”
Bahwa hal ini menunjukkan dengan jelas, bagaimana ketentuan-ketentuan dalam KUHP yang dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi juga tidak dianggap terlampau penting, maka tak heran apabila dalam R KUHP versi 2008 kembali muncul sejumlah tindak pidana yang telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.
Bahwa menurut Dr. Mudzakkir, SH, MH pada Selasa 24 Juni 2008, saat itu mewakili Pemerintah c.q Tim Revisi KUHP, telah menyatakan :
“kritik tidak identik atau tidak sama dengan menghina…jika terjadi tindakan kritik yang didahului, disertai, atau diikuti dengan perbuatan menghina maka yang menurut hukum pidana bukan perbuatan kritiknya melainkan perbuatan penghinaannya”, namun sayangnya tidak diketemukan cara dalam hukum pidana bagaimana membatasi kritik sehingga tidak jatuh dalam ranah penghinaan.
Bahwa menurut Ahli Pemohon Atmakusumah Astraatmadja pada 23 Juli 2008 telah menyatakan bahwa :
“Menjatuhkan sanksi hukum pidana berupa hukuman penjara ataupun denda yang tinggi berdasarkan undang-undang pidana dipandang tidak lagi sesuai dengan standar internasional tentang kebebasan berekspresi dan kebebasan menyatakan pendapat bagi wartawan karena karya jurnalistiknya, demonstran atau penceramah dan pembicara dalam diskusi karena ekspresi dan pendapatnya, dan aktivis advokasi karena sikap dan pendiriannya”
Bahwa menurut Ahli Pemohon Atmakusumah Astraatmadja pada 23 Juli 2008 telah menyatakan bahwa:
“sejumlah negara telah menghapus ketentuan hukum pidana tentang pencemaran nama baik, penghinaan, fitnah, dan kabar bohong karena sukar dapat dibuktikan kebenarannya secara faktual karena sering kali lebih merupakan pendapat bukan pernyataan fakta, sifatnya relatif yang sangat tergantung pada perasaan dan pendapat yang subyektif, menimbulkan banyak penafsiran, dan tidak menimbulkan kerusakan yang bersifat tetap”
Bahwa menurut Hakim Agung Artidjo Alkostar seperti yang dikutip oleh Ahli Pemohon Atmakusumah Astraatmadja pada 23 Juli 2008 telah menyatakan bahwa :
“Konstruksi hipotetis Pasal 262 RUU KUHP yang mengancam pidana bagi yang menghina Presiden atau Wakil Presiden lebih merupakan klise yang diambil dari KUHP lama yang berwatak kolonial feodalistik dan tidak mencerminkan asas persamaan serta banyak menegasikan aspirasi, hak, dan kedaulatan rakyat. Pasal seperti ini dapat dipertanyakan postulat moralnya jika akan diberlakukan di negara yang berkualitas demokrasi egaliter. Penggunaan istilah ‘menghina’ dapat dipergunakan untuk menghukum mahasiswa yang menyatakan aspirasinya, pers, dan media yang melakukan kontrol….”
“Baik secara historis, teoretis maupun faktual, Pasal 284, 285 RUU KUHP yang memuat ancaman pidana bagi yang dianggap melakukan penghinaan terhadap Pemerintah terbukti antidemokrasi dan dipergunakan Pemerintah Indonesia untuk membunuh kritik dan sosial kontrol yang muncul. Munculnya banyak pelanggaran HAM, korupsi politik, dan kejahatan pemerintahan di masa Orde Baru mempergunakan instrumen hukum pasal hukum pidana seperti pasal di atas.”
Bahwa menurut Ahli Pemohon Toby Daniel Mendel pada 23 Juli 2008 telah menyatakan “There is a number of reason why freedom of expression is considered to be so important rights, first of all it is fundamental underpinnning of the democracy, secondly freedom expression in combatting the corruption, thirdly freedom of expression promoting accountability, fourth freedom of expression in society is believe to be the best way to discover the trutht“
Terjemahan bebas: “Terdapat banyak alasan mengapa kebebasan berekspresi adalah hak yang penting, pertama-tama karena ini adalah sebagai dasar dari demokrasi, kedua kebebasan berekspresi berperan dalam pemberantasan korupsi, ketiga kebebasan berekspresi mempromosikan akuntabilitas, dan keempat kebebasan berekspresi dalam masyarakat dipercaya merupakan cara terbaik untuk menemukan kebenaran”
Bahwa perlindungan terhadap kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan perlu dijamin, agar masyarakat tidak takut untuk menyampaikan kritik dan pendapatnya agar praktek penyelenggaraan negara dapat bebas dari korupsi dan aktor-aktor sosial lainnya dapat dimintai akuntabilitasnya pada saat aktivitasnya bersinggungan dengan kepentingan masyarakat.
IV. Kemerdekaan Menyatakan Pikiran dan Pendapat Secara Lisan dan Tulisan dan Hak Atas Informasi
Bahwa hak atas informasi dijamin berdasarkan Pasal 28 F UUD 1945 dan dalam ketentuan tersebut juga dapat ditemukan dasar operasionalnya dalam TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Piagam Hak Asasi Manusia, UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang diratifikasi melalui UU No 12 Tahun 2005.
Bahwa terdapat hubungan yang erat antara hak atas informasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 F UUD 1945 dengan kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 E ayat (2) dan Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945.
Bahwa tanpa adanya jaminan konstitusional terhadap kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan maka akan menghambat secara langsung hak atas informasi yang akan menghambat secara langsung prinsip “free flow of information“.
Bahwa dengan banyaknya jeratan pidana terhadap aktivitas menyatakan pikiran dan pendapat serta penyebarluasan informasi di Indonesia, dapat secara serius mengganggu terciptanya tujuan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan dapat mengganggu upaya seluruh bangsa Indonesia untuk mencipatakan pemerintahan yang baik dan bebas dari praktek-praktek penyelenggaraan negara yang buruk.
Bahwa dengan jeratan-jeratan pidana baik di dalam KUHP ataupun di luar KUHP tersebut secara serius telah berupaya menghilangkan kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tertulis, kebebasan berekspresi, dan kemerdekaan pers sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 E ayat (2) dan Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 maka konsekuensinya dapat secara serius mengganggu hak masyarakat untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dengan cara mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 F UUD 1945.
Bahwa hubungan antara kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan dengan hak atas informasi dapat dilihat dari kesaksian yang disampaikan Ahmad Taufik dan Kho Seng Seng.
Proses pidana yang dijalani oleh Sdr. Ahmad Taufik terkait dengan Pasal 311 KUHP telah membuat ia kesulitan memperoleh informasi, sesuatu yang sesungguhnya penting dalam pekerjaannya sebagai wartawan, karena banyak narasumber yang enggan untuk memberikan keterangan karena takut untuk menyatakan pendapatnya.
Bahwa ancaman pidana melalui penggunaan Pasal 310 KUHP telah membuat Sdr. Kho Seng Seng tidak dapat kembali menggunakan haknya untuk mencari dan memperoleh informasi terkait dengan kedudukannya yang telah dirugikan sebagai konsumen.
Bahwa hak atas informasi dapat terjamin dengan baik apabila tidak ada hambatan dalam menyampaikan pikiran dan pendapatnya secara lisan dan tulisan yang berupa ancaman pidana penjara sebagaimana terdapat dalam Pasal 310 ayat (1), 310 ayat (2), dan Pasal 311 ayat (1) KUHP.
Bahwa berdasarkan pendapat Ahli dari Pemohon, Toby Daniel Mendel pada 23 Juli 2008 menyatakan bahwa:
“….freedom of expression requires citizen will have access to the right in different view point. For that we need to protect the right of the speaker to speak”.
Terjemahan bebas : “…..kebebasan berpendapat dimana para warga mempunyai hak untuk mendapatkan informasi dari berbagai sudut pandang, jadi para pembicara juga diberi hak untuk berbicara”.
Bahwa ancaman pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 ayat (1), 310 ayat (2), dan 311 ayat (1) KUHP telah menimbulkan rasa takut yang berlebihan dan dampaknya masyarakat tidak akan menerima informasi dari beragam gagasan dan sudut pandang, karena banyak orang yang ketakutan dan tidak mau mengambil resiko untuk dipenjara akibat pernyataan pikiran dan pendapatnya.
V. Pidana Penjara Dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP, Pasal 310 ayat (2) KUHP, dan Pasal 311 ayat (1) KUHP Adalah Bertentangan Dengan Konstitusi
Bahwa pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), dan Pasal 311 ayat (1) KUHP telah menyebabkan ketakutan terhadap diri Para Pemohon untuk dapat secara bebas menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 E ayat (2) dan Pasal 28 E ayat (3) Perubahan II UUD 1945.
Bahwa pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), dan Pasal 311 ayat (1) KUHP telah menyebabkan ketakutan terhadap diri Para Pemohon untuk dapat secara bebas berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 F Perubahan II UUD 1945.
Bahwa ancaman ketakutan yang dialami oleh Para Pemohon terhadap pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), dan Pasal 311 ayat (1) KUHP secara efektif telah menyebabkan Para Pemohon tidak lagi dapat secara bebas menyatakan pikiran dan pendapatnya secara lisan dan tertulis dan tidak lagi dapat secara bebas berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 E ayat (2), Pasal 28 ayat (3), dan Pasal 28 F Perubahan II UUD 1945.
Bahwa ketakutan yang dialami Para Pemohon apalagi yang dialami Pemohon I (vide bukti: P-7; P-8 dan P-9) yang telah menjalani pidana penjara sebagaimana Pasal 310 ayat (2) KUHP tidak saja membatasi hak-hak asasi Para Pemohon dalam hal ini Pemohon I tapi juga berdampak pada ketakutan yang luar biasa kepada orang-orang yang tidak melakukan perbuatan yang dilakukan oleh Para Pemohon. Masyarakat awam akan menghindari bahkan membatasi diri mereka untuk tidak bersentuhan, mendekati apalagi melakukan perbuatan mengakibatkan pemidanaan sebagaimana Para Pemohon.
Dengan demikian penerapan sanksi pidana penjara yang diatur dan ditetapkan dalam Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), dan Pasal 311 ayat (1) KUHP mempunyai daya yang tidak saja menjangkau si pelaku/tersalah tapi juga menanamkan efek ketakutan (chilling effect) kepada masyarakat luas dengan Para Pemohon sebagai model konkret dari penerapan sanksi pidana penjara.
Bahwa adalah tepat Hukum Pidana dan tujuan pemidanaan di buat dengan maksud melahirkan efek jera bagi si pelaku dan menjadi cermin bagi masyarakat luas untuk tidak berbuat serupa serta menjaga keseimbangan dan tertib bermasyarakat. Namun biaya sosial yang ditimbulkan dengan hilangnya potensi-potensi kritis untuk mengkritik suatu ketidakbenaran atau keganjilan atau ketidaklaziman dalam tatanan berbangsa dan bernegara sama dengan membunuh demokrasi yang hendak dipraktikkan di republik tercinta.
Bahwa ancaman pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), dan Pasal 311 ayat (1) KUHP tidaklah proporsional dan bahkan berlebihan serta membahayakan secara prinsip kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 E ayat (2) dan Pasal 28 E ayat (3) Perubahan II UUD 1945.
Bahwa ancaman pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), dan Pasal 311 ayat (1) KUHP tidaklah proporsional dan dapat membahayakan prinsip “free flow of information” sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 F Perubahan II UUD 1945.
Bahwa Pasal 28 G ayat (1) Perubahan II UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.“
Bahwa Pasal 22 TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Piagam Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.“
Bahwa Pasal 30 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu“.
Bahwa pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), dan Pasal 311 ayat (1) KUHP telah menimbulkan perasaan tidak aman dan ketakutan yang mendalam dalam diri Para Pemohon untuk dapat secara bebas menyatakan pikiran dan pendapatnya secara lisan dan tulisan dan Para Pemohon telah menimbulkan perasaan tidak aman dan ketakutan yang mendalam dalam diri Para Pemohon sehingga Para Pemohon tidak lagi dapat secara bebas berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 E ayat (2), Pasal 28 ayat (3), dan Pasal 28 F Perubahan II UUD 1945.
Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No 4/PUU-V/2007 tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran terhadap UUD Negara Republik Indonesia 1945, Mahkamah telah berpendapat bahwa pemberian sanksi pidana harus memperhatikan hukum pidana yang humanistis dan terkait dengan kode etik.
Bahwa dalam Putusan Mahkamah Putusan Mahkamah Konstitusi No 4/PUU-V/2007 tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Mahkamah telah menyatakan bahwa (i) ancaman pidana tidak boleh dipakai untuk mencapai suatu tujuan yang pada dasarnya dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan penderitaan dan kerugian yang lebih sedikit, (ii) ancaman pidana tidak boleh digunakan apabila hasil sampingan (side effect) yang ditimbulkan lebih merugikan dibanding dengan perbuatan yang akan dikriminalisasi, (iii) ancama pidana harus rasional, (iv) ancaman pidana harus menjaga keserasian antara ketertiban, sesuai dengan hukum, dan kompetensi (order, legitimation, and competence), dan (v) ancaman pidana harus menjaga kesetaraan antara perlindungan masyarakat, kejujuran, keadilan prosedural dan substantif (social defence, fairness, procedural and substantive justice)
Bahwa ancaman pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), dan Pasal 311 ayat (1) KUHP telah menimbulkan perasaan tidak aman dan ketakutan dalam diri Para Pemohon akibat tidak proporsionalnya antara pelanggaran yang dilakukan dengan ancaman pidana yang diatur dalam Pasal 310 KUHP dan Pasal 311 ayat (1) KUHP dan hal ini tidak sesuai dengan Pasal 28 G ayat (1) Perubahan II UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.“
Bahwa berdasarkan pendapat berbeda dari Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan dan H. Harjono dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No 4/PUU-V/2007 tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, tujuan kriminalisasi adalah untuk menanggulangi kejahatan, perbuatan yang dibenci yaitu perbuatan yang mendatangkan korban, dan penentuan kriminalisasi demikian harus mempertimbangkan prinsip “cost and benefit” dan juga mempertimbangkan jangan sampai penegak hukum overbelasting atau kelampauan beban tugas, sebagai “a rational total of the responses to crime“.
Bahwa ancaman pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), dan Pasal 311 ayat (1) KUHP jelas tidak lagi proporsional dan tidak tepat apabila dimaksudkan untuk melindungi reputasi dan kehormatan dari seseorang karena telah secara serius mengancam, mencederai, dan mengganggu hak konstitusional untuk menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan dan hak berkomunikasi.
Bahwa menurut Ahli Pemohon, Atmakusumah Astratmadja pada 23 Juli 2008 menyatakan bahwa:
“Menjatuhkan sanksi hukum pidana berupa hukuman penjara ataupun denda yang tinggi berdasarkan undang-undang pidana dipandang tidak lagi sesuai dengan standar internasional tentang kebebasan berekspresi dan kebebasan menyatakan pendapat bagi wartawan karena karya jurnalistiknya, demonstran atau penceramah dan pembicara dalam diskusi karena ekspresi dan pendapatnya, dan aktivis advokasi karena sikap dan pendiriannya. Sejumlah negara telah menghapus ketentuan hukum pidana tentang pencemaran nama baik, penghinaan, fitnah, dan kabar bohong karena sukar dapat dibuktikan kebenarannya secara faktual karena sering kali lebih merupakan pendapat bukan pernyataan fakta, sifatnya relatif yang sangat tergantung pada perasaan dan pendapat yang subyektif, menimbulkan banyak penafsiran, dan tidak menimbulkan kerusakan yang bersifat tetap”.
Bahwa menurut Ahli Pemohon, Yenti Ganarsih pada 23 Juli 2008 menyatakan bahwa:
“Apakah pemidanaan yang berat atau dalam jumlah tertentu sudah benar -benar efektif, apakah kriminalitas yang sekarang diberantas memang betul -betul merupakan kejahatan yang paling menimbulkan ketidaktenangan? Kemudian apakah tidak ada perbuatan tercela lainya yang justru lebih memerlukan adanya suatu represi dengan hukum pidana, sedangkan kenyataannya malah dibiarkan saja. Maka untuk ini perlu ditekankan betapa harus sangat teliti untuk merumuskan perbuatan pidana jangan sampai overlegislation dan underlegislation. “
“kongres PBB menghimbau agar dilakukan “pemikiran kembali terhadap keseluruhan kebijakan criminal” (” to retrink the whole of criminal policy”), termasuk di bidang kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, berarti mengharuskan adanya “reevaluasi, review, reorientasi, reformasi, dan reformulasi” terhadap kebijakan hukum pidana yang berlaku saat ini. Ini berarti diperlukan upaya – upaya untuk melakukan “penggalian hukum”, antara lain lewat kajian perbandingan/komparatif. Berkaitan dengan hal itu maka perlu dipikirkan apakah perumusan tentang penghinaan tidak mengalami pergeseran bersamaan dengan pergerakan gejala social yang begitu cepat berubah? Selain tentu saja berkaitan dengan kebebasan menyatakan pendapat yang dijamin konstitusi. “
“mengingat bahwa yang dimintakan itu adakah sesuatu yang ada di KUHP yang bersifat nasional, maka seharusnya yang diatur adalah sesuatu yang bersifat nasional. Maksudnya rasa tercemarnya, rasa diserangnya suatu kehormatan seseorang bisa diberlakukan sama seluruh suku bangsa di Indonesia”
“Pidana merupakan alat yang paling ampuh yang dimiliki Negara untuk memerangi kejahatan namun pidana bukan merupakan satu-satunya alat, sehingga pidana jangan diterapkan terpisah, melainkan selalu dalam kombinasi dengan tindakan-tindakan social lainnya, khususnya dalam kombinasi dengan tindakan-tindakan preventif. (pemikiran dari Von Liszt, Prins, van Hammel pendiri Internatioale Association for Criminalogy). Jangan menggunakan Hukum Pidana dengan cara emosional; Jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak jelas korban atau kerugiannya; Jangan menggunakan hukum pidana, apabila kerugian yang ditimbulkan dengan pemidanaan akan lebih besar daripada kerugian oleh tindak pidana yang akan dirumuskan; Jangan menggunakan hukum pidana apabila tidak didukung oleh masyarakat secara kuat; Jangan menggunakan hukum pidana apabila penggunaannya diperkirakan tidak akan efektif; Hukum pidana dalam hal-hal tertentu harus mempertimbangkan secara khusus skala prioritas kepentingan pengaturan; Hukum pidana sebagai sarana represif harus didayagunakan secara serentak dengan sarana pencegahan. “
“ini dimaksudkan adalah karena perbuatan itu sudah sangat ringan tetapi tetap anti social behaviour dan tidak memerlukan pidana penjara, hanya pidana denda”
Bahwa menurut Ahli Pemohon, Nono Anwar Makarim pada 23 Juli 2008 menyatakan bahwa :
“Kriminalisasi penghinaan/pencemaran nama asal mulanya dimaksudkan guna menjaga ketertiban umum. Pada abad ke-13 orang yang merasa dihina menganggap dirinya wajib menantang sipenghina untuk berduel. Di Inggeris, pada tahun 1275 jumlah korban dan kegaduhan yang ditimbulkan oleh penghinaan sedemikian rupa meningkat sehingga dibuatlah ketentuan tentang yang disebut SCANDALUM MAGNATUM dalam STATUTE OF WESTMINSTER:
“. . . . from henceforth none be so hardy to tell or publish any false news or tales, whereby discord or occasion of discord or slander may grow between the king and his people or the great men of the realm.”
SCANDALUM MAGNATUM bertujuan menciptakan proses pemulihan nama baik secara damai. Terlalu banyak kegaduhan bersenjata dan korban jiwa yang timbul akibat rasa tersinggung seorang oleh apa yang dianggapnya penghinaan oleh orang lain. Jaman itu informasi jarang bisa diperoleh dan sulit dikonfirmasi. Desas-desus gampang sekali mengakibatkan adu anggar dan pistol didepan umum.”
“Pengertian “penghinaan” adalah sama dengan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHPid.”). Demikian arrest Hooge Raad pada tanggal 10 Januari 1896. Begitu pula vonnis Raad van Justitie Batavia 19 Oktober 1906. Ada suatu anomali sistemik bila suatu perbuatan yang jatuh dalam rumusan KUHPerd. Harus dicarikan definisinya dalam KUHPid. Dengan lain perkataan, suatu perbuatan yang menimbulkan akibat privaatrechtelijk harus dicarikan syarat dan cirinya dalam kumpulan perundang-undangan yang berlaku secara publiekrechtelijk.”
“Putusan semacam ini adil karena penghinaan sudah diganjar gantirugi materiil dan immateriil dalam proses perdatanya. Putusan semacam ini bermanfaat guna mencegah digunakannya alternatif pemidanaan sebagai alat pemerasan untuk memperoleh gantirugi berlebihan, atau sumber korupsi oleh aparatur penegak hukum. Lagipula, suatu putusan yang menyatakan bahwa kriminalisasi suatu onrechtmatige daad inkonstitusional dan sudah tidak sesuai dengan norma hukum dan keadilan jaman, akan menertibkan kembali tata hukum kita: suatu perbuatan perdata akan tetap dikaji dalam suatu tatanan hukum privat.”
Bahwa menurut Ahli Pemohon, Ifdhal Kasim, dalam pernyataan tertulisnya menyatakan bahwa:
“Perlindungan terhadap kehormatan dan reputasi individu tersebut juga harus dilihat relasinya dengan keberadaan hak yang lain, yaitu hak atas kebebasan berbicara, berekspresi, dan pers yang juga harus diproteksi oleh negara”
“Reputasi sebagai bagian rights of privacy memang harus dilindungi, tetapi tanpa harus mengurangi atau mengancam free speech, maka untuk alasan inilah, dewasa ini, sudah semakin banyak negara yang telah meninggalkan tindak pidana menyerang reputasi dan kehormatan dalam hukum pidananya”.
“Delik pencemaran nama baik dalam KUHP kita gagal memberikan perlindungan terhadap hak atas kebebasan berekspresi. Gagal dalam artian rumusan yang terlampau luas dan tidak sebandingnya kerugian yang disebabkan dengan hukuman yang ditimpakan kepada pelanggarnya. Tidak proporsional antara harm dan sanction”
“Komite HAM PBB untuk Hak-hak Sipil dan Politik berulang-ulang sudah menghimbau agar negara-negara pihak dari Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik segera meninjau kembali pemberlakuan sanksi penjara bagi tindak pidana penghinaan atau pencemaran nama baik. Begitu pula Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Menyatakan Pendapat dan Ekspresi juga memberi penilaian bahwa pemenjaraan bukanlah sanksi yang absah bagi tindak pidana pencemaran nama baik atau penghinaan”
Bahwa menurut Ahli Pemohon, Toby Daniel Mendel pada 23 Juli 2008 menyatakan bahwa:
“There are a number of implication of the international court elaborated in a number of term necessary…the first that restricting freedom of expression must be carefully design to focus on protection of the legitimate aims, secondly restriction must not be over board and must attach only to the harmful speech and not limit other speech, and thirdly the restriction should not be disproportioned and key aspect of that the sanction should not be excessive”
Terjemahan bebas :“Ada beberapa implikasi yang telah dielaborasikan oleh pengadilan international yang sifatnya perlu…yang pertama adalah ketentuan yang membatasi kebebasan pendapat ini dirancang secara hati-hati untuk memfokuskan diri pada perlindungan tercapainya tujuan yang legitimate atau sah, yang kedua pembatasan tidak boleh terlalu luas, harus dilekatkan hanya kepada ekspresi-ekspresi yang membahayakan dan tidak membatasi kebebasan berbicara pihak lain. Yang ketiga adalah pembatasan tidak boleh tidak seimbang atau disproporsional dan aspek utama adalah sanksi sebaiknya tidak terlalu berat”.
“Criminal defamation law, particulary penal sanction for defamation it is submitted are not necessary, firstly because their disproportionated that is to say that they are excessive compare to the wrong done and secondly because less intrutive measure namely several defamation law are adequate to protect reputation”.
Terjemahan bebas : “pencemaran nama baik pidana dalam hal undang-undangnya juga tidak diperlukan, karena itu tidak sesuai, tidak seimbang karena itu tidak berlebihan dibandingkan dengan tindak perbuatannya dan terdapatnya langkah-langkah yang tidak terlalu intrusif atau pencemaran nama baik padahal tak bisa untuk melindungi reputasi ini”.
“Inter American Court was able to decide case without going quite to that point itself but clear direction that court is toward non recognition of imprisonment as a sanction for defamation. The European Court of Human Rights has decided literally hundred cases of defamation in no case so far has it upheld an imprisonement for defamation”
Terjemahan bebas : “Pengadilan Inter Amerika telah memutuskan kasus meski tidak sampai pada point tersebut namun dengan jelas memberikan arah bahwa pengadilan tidak lagi mengakui bahwa pidana penjara ada sanksi bagi pencemaran nama baik. Pengadilan Eropa untuk Hak Asasi Manusia juga telah memutuskan ratusan kasus pencemaran nama baik dengan tidak ada satupun mendukung pidana penjara untuk pencemaran nama baik”
Bahwa dari uraian para Ahli Pemohon telah cukup jelas, jika pidana penjara yang terdapat dalam Pasal 310 ayat (1), 310 ayat (2), dan 311 ayat (1) KUHP tidaklah memiliki legitimasi dan dapat secara serius menimbulkan gangguan terhadap kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan yang telah dijamin dalam Pasal 28 E ayat (2) dan Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 dan dapat mengakibatkan tersumbatnya hak masyarakat untuk mendapatkan informasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 F UUD 1945.
VI. Pasal 316 KUHP dan Pasal 207 KUHP Menegasikan Prinsip Persamaan di Muka Hukum, Kedaulatan Rakyat, dan Hak Untuk Memilih
Bahwa dengan masih adanya beragam tindak pidana yang memberikan perlindungan terhadap para pejabat negara dan aparat penyelenggara negara telah secara nyata menyingkirkan kedaulatan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) Perubahan III UUD 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan menurut UUD“.
Bahwa sebagai pemegang kedaulatan rakyat, maka rakyat menitipkan sebagian kecil dari kedaulatannya melalui pemilu untuk memilih para wakilnya dan untuk mengisi jabatan-jabatan negara yang diatur dalam UUD 1945.
Bahwa untuk memilih orang – orang yang tepat untuk mengisi jabatan-jabatan negara yang tersedia, maka rakyat haruslah bebas untuk menyatakan pikiran dan pendapatnya secara lisan dan tertulis dan bebas untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Bahwa untuk itu, maka pers dapat menjadi salah satu alat untuk menyalurkan dan menyampaikan informasi yang penting bagi seluruh rakyat Indonesia agar rakyat Indonesia dapat menentukan pilihan yang tepat dan terbaik bagi kebaikan seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia.
Bahwa jeratan hukum pidana terhadap aktivitas menyatakan pikiran dan pendapat serta penyebarluasan informasi dapat, baik secara langsung ataupun tidak langsung, menutup akses informasi yang penting bagi masyarakat yang pada akhirnya masyarakat juga akan mendapatkan kesulitan untuk menentukan pilihan yang tepat dan terbaik saat memilih dan mengisi jabatan-jabatan negara yang tersedia melalui pemilu.
Bahwa para pejabat negara dan aparat penyelenggara negara dipilih baik langsung ataupun tidak langsung oleh masyarakat, maka tidaklah berlebihan apabila masyarakat melakukan fungsi pengawasannya untuk memberikan kritik, komentar, pendapat, dan usulan kepada para pejabat negara dan aparat penyelenggara negara untuk dapat melakukan tugas dan kewajibannya kepada seluruh masyarakat Indonesia sebagai diatur dalam Konstitusi dan UU yang berlaku di Indonesia.
Bahwa untuk melakukan fungsi pengawasan tersebut, maka masyarakat dapat menggunakan segala jenis saluran informasi dan media yang tersedia, baik media utama seperti media cetak, penyiaran, dan online ataupun media lainnya seperti pesan singkat (sms), surat elektronik, mailing list, ataupun blog.
Bahwa tanpa adanya pengawasan dari masyarakat terhadap jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara, maka akan berlaku pendapat “power tends to corrupt, absolute power corupt absolutely”. Dan masyarakat Indonesia telah merasakan akibat dari penggunaan kekuasaan yang tanpa kritik dan kontrol selama masa pemerintahan Soekarno (pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959) dan masa pemerintahan Soeharto.
Bahwa menurut Ahli Pemohon, Nono Anwar Makarim, pada 23 Juli menyatakan bahwa:
“Salah seorang pakar hukum pidana terkemuka di Nederland bilang bahwa penghinaan merupakan suatu perbuatan pidana yang hanya dapat ditujukan pada orang-perorangan. Menurut Noyon hal tersebut dengan jelas diutarakan secara konsisten dalam KUHPid. dengan kata orang disetiap pasal dalam Bab XVI tentang Penghinaan. Pertanyaan dalam perdebatan di parlemen Nederland apakah maksud pembuat undang-undang mencakup badan hukum atau perserikatan orang-orang sebagai pihak yang bisa dihina disangkal oleh Komisi Pelapor. Perbuatan-perbuatan pidana dalam pasal-pasal tentang Penghinaan dalam KUHPid. termasuk dalam kategori delik pengaduan, dan hukum pengaduan pada dasar sifatnya merupakan hukum orang-perorangan. Pasal-pasal 207 dan 208 KUHPid. mengancam hukuman penjara barangsiapa menghina badan yang berwenang atau otoritas publik di Indonesia. “
“Prof. Van Hattum dalam komentarnya tentang putusan perkara KENGPO berkata bahwa bila perkara tersebut diadili di Nederland, yang akan diterapkan adalah pasal yang serupa dengan 310 KUHPid., bukan yang serupa dengan 207 KUHPid. Van Hattum tidak sampai hati menambahkan bahwa dalam Wetboek van Strafrecht Nederland tidak tercantum pasal-pasal 207 dan 208 KUHPid. Beliau tidak tega mengeluarkan pendapat bahwa 207 dan 208 KUHPid. hanya diberlakukan diwilayah jajahan, terhadap bangsa jajahan, guna memudahkan pekerjaan penjajahan.”
Bahwa menurut Ahli Pemohon, Toby Daniel Mendel pada 23 Juli 2008 menyatakan bahwa:
“corporation individual have the rights of reputation but public bodies do not have the rights to sue for defamation…first of all democracy requires absolute openness of debate of public bodies. It is essential that people should feel free to criticize without restraint the activities of public bodies. Secondly public bodies do not have reputation of their own, thirdly public bodies have other means to defend themselves, and finally it is an abuse of use of public fund to allowed public bodies to sue”
Terjemah bebas: “Perusahaan dan perorangan mempunyai kehormatan akan tetapi badan umum tidak mempunyai hak untuk menuntut pencemaran nama baik…pertama-tama demokrasi membutuhkan diskusi terbuka yang absolute tentang badan umum. Adalah penting bahwa masyarakat untuk merasa bebas melakukan kritik adalah tujuan demokrasi tanpa terganggu dengan aktivitas badan umum. Kedua badan umum tidak memiliki kehormatan pribadi, ketiga badan umum mempunyai cara untuk mempertahankan dirinya, dan terakhir adalah pelanggaran penggunaan dana masyarakat untuk digunakan badan umum untuk melakukan penuntutan”
Bahwa menurut Keterangan Pihak Terkait Dewan Pers yang disampaikan oleh Bambang Harymurti pada 23 Juli 2008 menyatakan bahwa:
“Pemerintah di orde reformasi sadar, pemerintah tidak hidup dari minyak, tidak hidup dari hutan, tidak hidup dari bantuan luar negeri, hidup dari pajak. Bagaimana mungkin pajak saya digunakan untuk membiayai karena ada seorang konglomerat yang tersinggung, lalu biaya polisi, biaya jaksa, dan biaya pengadilan dibebankan ke pajak, padahal hanya karena egonya tersinggung”
Bahwa keberlangsungan Negara Republik Indonesia adalah berasal dari para pembayar pajak. Untuk itu, tak salah rasanya, jika masyarakat ingin mengawasi dengan ketat kemana pajak itu akan digunakan. Dan tentunya tidak ada yang menginginkan jika pembayaran pajak dari masyarakat diselewengkan oleh para pejabat negara dan para pegawai negeri di negara ini.
Bahwa sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 1999 dan 2004 serta sebentar lagi 2009. Para Pemohon juga memilih, secara langsung melalui pemilu dan secara tidak langsung melalui wakil-wakil rakyat di DPR dan DPRD, para pejabat negara yang saat ini menduduki posisi-posisi penting di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Maka adalah tanggung jawab dari Para Pemohon untuk memantau perilaku dari para pejabat negara, yang telah Para Pemohon “titipkan” kedaulatan selama lima tahun sekali.
Tidakkah perlindungan istimewa terhadap para pejabat negara dan pegawai negeri sudah harus dihilangkan dari muka bumi Indonesia. Rasanya aneh, jika para “abdi masyarakat” tersebut malah diperkenankan untuk dapat merasa terhina dan melakukan upaya penuntutan secara pidana? Sejak kapan “para majikan” bisa dihukum karena memantau dan mengkritik para “abdinya” agar dapat melakukan pekerjaannya dengan baik?
Bahwa Pasal 316 dan Pasal 207 demikian pula Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 311 ayat (1) yang dimohonkan untuk di Uji Materi-kan dalam Permohonan ini, demikian pula pasal-pasal lain dalam KUHP berasal dari Wetboek van Straftrecht voor Netherlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan atas dasar Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33, 15 Oktober 1915 dan mulai berlaku sejak 1 Januari 1918 adalah turunan (copy) dari WvS Belanda dengan penerapan yang menganut asas konkordansi (penyesuaian) bagi pemberlakuan WvS di negeri jajahannya.
Bahwa di wilayah Hindia-Belanda sendiri ternyata pernah diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa) dengan Staatblad Tahun 1866 Nomor 55 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 1867 dan bagi masyarakat bukan Eropa diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Inlander (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi) dengan Staatblad Nomor 85 Tahun 1872 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 1873.
Bahwa pada masa itu terdapat dualisme hukum pidana yang berlaku di Hindia-Belanda (Indonesia sekarang), yaitu hukum pidana bagi golongan Eropa dan hukum pidana bagi golongan non-Eropa, karenanya Idenburg (Minister van Kolonien) merasa perlu dihapuskan dan atas prakarsa Menteri urusan Jajahan itu pula selama 2 (dua) tahun Wetboek van Straftrecht voor Netherlandsch Indie (WvSNI) diberlakukan atas dasar Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33, 15 Oktober 1915 dan mulai berlaku sejak 1 Januari 1918.
Bahwa setelah kemerdekaan, selanjutnya Wetboek van Strafrecht berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Bahwa berdasarkan sejarah penerapan KUHP di Indonesia sudahlah jelas maksudnya, yakni; mempertahankan Indonesia (Hindia) menjadi jajahan Belanda dengan pola menutup celah bagi perlindungan hak-hak warga negara dan membatasinya dengan ketentuan pidana serta berupaya memberikan efek jera (chilling effect) sekuat mungkin sehingga pergerakan menuju kemerdekaan dengan cara mengkritik pemerintah Hindia-Belanda baik secara lisan, tulisan, perseorangan atau berkelompok ditekan sekeras mungkin.
Bahwa Pasal 316 KUHP, yang menetapkan mengenai pemberatan pidana dengan menambah sepertiga pidananya bila yang dihina adalah penguasa, jelaslah bermotif untuk melindungi pemerintah yang pada prinsipnya dapat dikritik dan bilapun pemerintah merasa terhina adalah tidak patut karena pemerintah pada saat sekarang berbeda dengan pada saat WvSNI diberlakukan, apalagi dengan memperberat sanksi pidananya.
Bahwa Pasal 207 KUHP, yang menetapkan mengenai penghinaan terhdapap penguasa atau badan umum dengan sengaja dimuka umum baik tulisan atau lisan diancam pidana penjara 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan, jelaslah bermotif untuk melindungi pemerintah yang pada prinsipnya dapat dikritik dan bilapun pemerintah merasa terhina adalah tidak patut karena pemerintah pada saat sekarang berbeda dengan pada saat WvSNI diberlakukan, apalagi dengan memperberat sanksi pidananya.
Bahwa pemerintah, badan umum dan/atau penguasa yang tertera dalam KUHP bukanlah lembaga atau badan atau yagn dikendalikan/dijalankan oleh orang-orang yang suci, karenanya perlu diawasi dan dikritik, hal ini dinyatakan oleh Lord Acton “Power tend to Corrupt” dan diperkuat oleh salah seorang Pendiri Amerika Serikat, James Madison (Federal Paper); “karena manusia yang berkuasa bukan malaikat maka pengawasan mutlak dilakukan”.
Bahwa dengan demikian Pasal 316 dan Pasal 207 KUHP secara jelas telah mengingkari prinsip kedaulatan rakyat sehingga sudah semestinya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
VII. Pelanggaran Etika Bukanlah Kejahatan Yang Harus Dihadapi Dengan Hukum Pidana
Bahwa kalimat atau kata akan selalu berkembang oleh karena itu, kalimat atau kata yang dianggap menghina pada masa lalu sangat mungkin tidak lagi dianggap menghina pada masa sekarang, begitu pula kalimat atau kata yang dianggap menghina pada masa sekarang sangat mungkin tidak lagi dianggap menghina di masa depan.
Bahwa kalimat atau kata yang dianggap menghina pada suatu suku atau budaya atau daerah tertentu sangat mungkin tidak dianggap menghina pada suku atau budaya atau daerah yang lain, demikian juga berlaku sebaliknya.
Bahwa berdasarkan kenyataan tersebut, sangat sulit untuk menentukan ukuran dan rumusan yang jelas tentang bagaimana memisahkan antara pernyataan yang dianggap sebagai kritik dengan pernyataan yang dianggap sebagai penghinaan dan/atau fitnah.
Bahwa pernyataan pendapat pada umumnya hanya jatuh pada masalah etika, dan untuk itu adalah berlebihan apabila hukum pidana berusaha untuk mengatur tentang norma etika yang berlaku di masyarakat.
Bahwa sulitnya untuk mengatur apakah suatu pernyataan dapat dilihat dari beberapa kasus, seperti kasus kelompok musisi Slank dalam karyanya “Gosip Jalanan”, sulit untuk merumuskan dan menentukan apakah lirik dalam lagu tersebut hanyalah merupakan ekspresi ketidakpuasan yang disampaikan secara vulgar ataukah penghinaan.
Bahwa adalah berlebihan apabila pernyataan pendapat dalam bentuk yang biasa ataupun yang vulgar karena melanggar etika kemudian harus dihadapi dengan hukum pidana dan bahkan harus dijatuhi hukuman penjara karena persoalan tersebut.
Bahwa menurut Ahli Pemerintah Djafar Husin Assegaf pada 23 Juli 2008 telah menyatakan bahwa “Mochtar Lubis diadili mengenai pencemaran nama baik karena menyebutkan “Menteri Sontoloyo“, namun ada ahli bahasa Jawa yang menyebutkan bahwa sontoloyo adalah orang yang klemeh-klemeh“
Bahwa ungkapan-ungkapan vulgar dan cenderung kasar terdapat dalam berbagai khazanah kebahasaan setiap suku bangsa di Indonesia dan setiap kata tersebut adalah netral karena dapat digunakan untuk menunjukkan tingkat keakraban dari pemakainya, namun disaat yang sama juga dapat menunjukkan penghinaan terhadap orang lain.
Bahwa penggunaan bahasa yang vulgar dan kasar adalah jatuh pada masalah etika atau sopan-santun dan karena itu persoalan pencemaran nama baik juga telah dikaitkan oleh ahli pemerintah, Dr. Mudzakkir, SH, MH dan Djafar Husin Assegaf, dengan persoalan budaya dan penggunaan bahasa yang halus.
Bahwa jika pemerintah dan ahli pemerintah mencermati dengan baik, karena doktrin budaya dan penghalusan bahasa yang berlebih-lebihan tersebut, maka pada 1998, Indonesia telah mewarisi hutang yang tidak terkira jumlahnya karena salah urus negara dan praktek korupsi di kalangan para pejabat negara dan para pegawai negeri.
Bahwa jika pemerintah dan ahli pemerinta berkenan untuk mengamati dengan baik penghalusan bahasa yang berlebih-lebihan telah menimbulkan ketakutan pada masyarakat Indonesia untuk menyuarakan pendapatnya yang berakibat menempatkan sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai penonton dalam derap pembangunan di Indonesia.
Bahwa persoalan budaya tersebut telah menimbulkan masyarakat yang diam karena ketakutan. Masyarakat telah memilih diam pada saat tergusur dan diam saat dilecehkan hak-hak konstitusional dan hukumnya.
VIII. Pembatasan Kemerdekaan Berpendapat Dalam Hukum Internasional dan Konstitusi Indonesia
Bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan yang telah diakui secara internasional juga mempunyai pembatasan – pembatasan dan bukanlah hak yang secara absolut tidak mengenal pembatasan
Bahwa pembatasan tersebut dalam hukum internasional dapat ditemukan pada Pasal 19 ayat (3) Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang salah satunya menyatakan bahwa pembatasan hanya diperkenankan jika ditetapkan melalui undang-undang dan sepanjang untuk keperluan menghormati hak-hak dan nama baik orang lain, menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan dan moral masyarakat.
Bahwa berdasarkan keterangan Ahli Pemohon, Toby Daniel Mendel pada 23 Juli 2008 menyatakan bahwa:
“Freedom of expression although a very important rights is not the right without limitation, it might be restricted. International law is established clear test for restriction of freedom of expression. The first part of the test the restriction must be provided by law, the second part is the restriction must served legitimate aim, the third part is the restriction of freedom of expression must be necessary to protect the legitimate aim.”
Terjemahan bebas :” Meskipun kebebasan berpendapat ini sangat penting tapi bukan berarti tanpa batasan.Ini mungkin dibatasi, hukum internasional juga menjelaskan adanya pengujian dari kebebasan berpendapat…ujian pertama ada pembatas ini harus diatur dalam undang-undang…..,bagian kedua adalah pembatas ini harus memiliki tujuan yang legitimate….,bagian ketiga adalah pembatasan dari kebebasan pendapat ini sebaiknya diperlukan untuk melindungi tujuan yang legitimate”.
Bahwa Uji Tiga Rangkai atau Three Parts Test diperkenalkan dalam putusan Human Rights Committe, Communication No 574/1994 CCPR/C/64/D/574/1994 (4 January 1999) antara Keun-Tae Kim Vs Republic of Korea.
Bahwa berdasarkan keterangan Ahli Pemohon, Toby Daniel Mendel pada 23 Juli 2008 menyatakan bahwa:
“There are a number of implication of the international court elaborated of term necessary…the first that restricting freedom of expression must be carefully design to focus on protection of the legitimate aims, secondly restriction must not be over board and must attach only to the harmful speech and not limit other speech, and thirdly the restriction should not be disproportioned and key aspect of that the sanction should not be excessive”
Terjemahan bebas :” “Ada beberapa implikasi yang telah dielaborasikan oleh pengadilan international yang sifatnya perlu…yang pertama adalah ketentuan yang membatasi kebebasan pendapat ini dirancang secara hati-hati untuk memfokuskan diri pada perlindungan tercapainya tujuan yang legitimate atau sah, yang kedua pembatasan tidak boleh terlalu luas, harus dilekatkan hanya kepada ekspresi-ekspresi yang membahayakan dan tidak membatasi kebebasan berbicara pihak lain. Yang ketiga adalah pembatasan tidak boleh tidak seimbang atau disproporsional dan aspek utama adalah sanksi sebaiknya tidak terlalu berat”.
Bahwa menurut keterangan tertulis Ahli Pemohon, Ifdhal Kasim, menyatakan bahwa :
“Perlindungan terhadap kehormatan dan reputasi individu tersebut juga harus dilihat relasinya dengan keberadaan hak yang lain, yaitu hak atas kebebasan berbicara, berekspresi, dan pers yang juga harus diproteksi oleh negara”.
“Reputasi sebagai bagian rights of privacy memang harus dilindungi, tetapi tanpa harus mengurangi atau mengancam free speech, maka untuk alasan inilah, dewasa ini, sudah semakin banyak negara yang telah meninggalkan tindak pidana menyerang reputasi dan kehormatan dalam hukum pidananya”.
“Delik pencemaran nama baik dalam KUHP kita gagal memberikan perlindungan terhadap hak atas kebebasan berekspres. Gagal dalam artian rumusan yang terlampau luas dan tidak sebandingnya kerugian yang disebabkan dengan hukuman yang ditimpakan kepada pelanggarnya. Tidak proporsional antara harm dan sanction”.
Bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan dalam hukum internasional bukan sebuah hak absolut dan tanpa pembatasan, maka demikian pula yang terdapat dalam Konstitusi Indonesia.
Bahwa pembatasan dalam UUD 1945 dapat ditemukan pada Pasal 28 J UUD 1945 yang pada pokoknya menyatakan pembatasan ditetapkan dengan undang-undang, dimaksudkan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atau hak dan kebebasan orang lain, untuk memenuhi tuntutan yang adil yang sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum, yang kesemuanya diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis.
Bahwa pembatasan terhadap kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan yang terdapat dalam Konstitusi Indonesia tentu harus dihubungkan dengan pembatasan yang diperkenankan dalam hukum internasional dengan kata lan prinsip-prinsip pembatasan ini juga harus diterapkan dengan cara yang tidak melemahkan esensi suatu hak yang diakui dalam UUD 1945 dan tidak dapat digunakan secara serampangan untuk membenarkan pelanggaran hak-hak yang diakui oleh UUD 1945 melalui sebuah UU.
Bahwa Pemerintah telah berupaya keras untuk mempersepsikan bahwa upaya dari Para Pemohon akan membuat semua orang di Indonesia dapat secara bebas menghina orang lain semau – maunya. Tentu saja hal ini adalah keliru dan salah, karena yang dimohonkan dalam Permohonan ini adalah agar pidana penjara pada Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), dan Pasal 311 ayat (1) KUHP dinyatakan bertentangan dengan konstitusi dan bukan norma penghinaannya itu sendiri.
Lalu pertanyaan besarnya apakah ini akan melepaskan setidaknya Para Pemohon dari jerat hukum pidana? Tentu tidak, karena meski pidana penjara tidak ada, ketentuan-ketentuan tentang pencemaran nama baik tetaplah perbuatan pidana. Dan apabila ada Para Pemohon dikemudian hari dianggap telah menyalahgunakan hak konstitusionalnya untuk menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan tetaplah dapat dituntut secara pidana. Dan putusan bersalah atas kasus ini akan menjadi catatan kriminal yang akan melekat sepanjang hayat dan tidak bisa dihapus dalam diri Para Pemohon.
Tidak hanya itu, Para Pemohon juga akan tetap menghadapi gugatan pencemaran nama baik secara perdata berdasarkan Pasal 1372 – Pasal 1379 KUHPerdata dimana tuntutan ganti kerugian dalam KUHPerdata hanyalah bisa dibatasi oleh langit.
Bahwa kehormatan, nama baik, dan reputasi tetaplah harus dilindungi, dihargai dan dihormati oleh siapapun akan mekanisme perlindungan tersebut tetapi dapat dilakukan dengan cara-cara yang lebih tidak merusak seperti menggunakan upaya gugatan perdata dengan menggunakan Pasal 1372 – 1379 KUHPerdata.
Bahwa dalam beberapa hal upaya gugatan secara perdata terasa nampak begitu membahayakan karena ada beberapa putusan pengadilan yang dapat dinilai tidak layak, namun setidaknya tidak ada dua kali penghukuman terhadap setiap orang yang menggunakan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 E ayat (2), Pasal 28 E ayat (3), dan Pasal 28 F Perubahan II UUD 1945.
IX. Penutup
Para Pemohon berharap, bahwa menjelang peringatan pada 17 Agustus kemerdekaan Indonesia, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi akan memerdekakan setiap manusia-manusia Indonesia dari ancaman penjara karena aktivitasnya dalam menyatakan pikiran dan pendapatnya secara lisan dan tulisan dan dalam mencari, mengumpulkan, mengolah, dan mengelola informasi.
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara ini, dalam pandangan Para Pemohon akan menjadi landmark decision yang dapat menentukan serta mengantarkan bangsa Indonesia ke arah masa depan yang gilang gemilang atau ke masa depan yang penuh kesuraman.
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara ini, tidak hanya berdampak pada masyarakat Indonesia saja, namun juga akan dilihat sebagai model bagi masyarakat di negara – negara ASEAN lainnya, baik yang sedang berusaha meninggalkan otoriterianisme dan menuju ke arah negara demokrasi yang lebih terbuka dan sehat ataupun yang sedang berusaha meninggalkan demokrasi ke arah otoriterianisme.
Jika saja dari dahulu Indonesia menjamin dengan kuat kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat secara lisan dan tulisan, maka pada 1998, Indonesia tidak akan pernah mewarisi hutang yang tidak terkira jumlahnya yang menyebabkan setiap bayi Indonesia yang baru lahir harus menangis keras karena telah dibebani kewajiban harus membayar hutang sejumlah lebih dari Rp. 6.000.000,00, karena salah urus negara dan praktek korupsi di kalangan para pejabat negara dan para pegawai negeri? Hutang yang sesungguhnya, menurut laporan Bank Dunia sebanyak 30 % tidaklah pernah masyarakat nikmati alias dikorupsi. Tak berlebihan jika masyarakat kemudian menyatakan bahwa setidaknya 30% hutang itu adalah hutang haram yang tidak pantas dipikul beban pembayarannya oleh masyarakat.
Kami, Para Pemohon, dengan hati berdebar-debar, meyakini bahwa Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi akan memutus perkara ini sesuai dan berdasarkan dengan UUD 1945 serta disertai dengan pikiran dan hati nurani yang jernih. Di pundak Yang Mulialah asa keadilan dari kami, Para Pemohon, telah kami letakkan dan kami pasrahkan.
Dengan kerendahan hati kami, Para Pemohon, memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI yang mulia yang memeriksa, mengadili dan memutus permohonan Para Pemohon untuk :
1. Menerima dan mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan bahwa Pasal 310 ayat (1) KUHP sepanjang anak kalimat “pidana penjara paling lama sembilan bulan atau”, Pasal 310 ayat (2) KUHP sepanjang anak kalimat “pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau”, Pasal 311 ayat (1) KUHP sepanjang anak kalimat “dengan pidana penjara paling lama empat tahun”, Pasal 316 KUHP, dan Pasal 207 KUHP adalah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 E dan Pasal 28 F UUD 1945.
3. Menyatakan bahwa Pasal 310 ayat (1) KUHP sepanjang anak kalimat “pidana penjara paling lama sembilan bulan atau”, Pasal 310 ayat (2) KUHP sepanjang anak kalimat “pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau”, Pasal 311 ayat (1) KUHP sepanjang anak kalimat “dengan pidana penjara paling lama empat tahun”, Pasal 316 KUHP, dan Pasal 207 KUHP tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
atau
Jika Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI berpendapat lain, Para Pemohon memohon agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI dapat menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya.
Hormat kami,
Kuasa Hukum Para Pemohon
HENDRAYANA, S.H. SHOLEH ALI, S.H.
ANGGARA, S.H MUHAMMAD HALIM, S.H. NAWAWI BAHRUDIN, S.H IRSAN PARDOSI, S.H.
MIMI MAFTUHA, S.H. ADIANI VIVIANA, S.H.
BAYU WICAKSONO, S.H. E. SUMARSONO, S.H
Aku doain deh mudah mudahan dikabulkan Majelis Yang terhormat
amin
Semoga permohonan dikabulkan, Om.
mudahan-mudahan di kabuli yah bang,
kita tunggu kapan tanggal putusannya.
kalo udah ada putusannya, share donk
sekalian ijin copas juga salinan putusannya
terima kasih
@rere
terima kasih bang
@grahat
Amin
@kombor
mudah2an kang
@yuhendra
tanggal 14/8 ini koq putusannya keluar
semoga pemohon di kabuklkan oleh Majelis Hakim Yang Mulia dan di putus oleh majelis Hakim Yang Mulia seadil adilnya(JUSTICE)……………………………trimakasih.