Hadiah Kemerdekaan Yang Memilukan
Jumat, 15 Agustus 2008, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa tindak pidana penghinaan dalam KUHP tidak bertentangan dengan UUD 1945 begitu pula pidana penjara juga dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu pula Pejabat Negara memiliki reputasi dan kehormatan.
Putusan MK tersebut saya pandang, sebuah hadiah memilukan bagi Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia. Mahkamah ternyata lebih memikirkan perlindungan pribadi tanpa memikirkan kepentingan umum yang lebih luas. Terlepas dari itu semua, saya memiliki beberapa catatan tentang putusan yang dalam pandangan saya tidak bijak tersebut
Secara prosedural justice, saya melihat dalam putusan setebal 289 halaman tersebut memuat berbagai keterangan/tanggapan tertulis dan kesimpulan tertulis pemerintah dan para ahli, namun kami selaku kuasa hukum dari Para Pemohon malah tidak pernah memperolehnya, saya heran, bagaimana mungkin kami dapat mempersiapkan dengan baik seluruh pembelaan, jika kami tidak pernah mendapat keterangan-keterangan dari pihak yang lain? Yang ada dan tersimpan di kami hanyalah risalah sidang dan keterangan dari Pak Mudzakkir yang nota bene saya minta sendiri. Saya pikir dari titik sini, saya secara pribadi merasa hak saya telah dilanggar secara sewenang-wenang.
Dari substansi, MK telah sempat menyatakan bahwa Permohonan dari Para Pemohon adalah masuk dalam ranah Constitutional Complaint, suatu hal yang tidak dimiliki kewenangannya oleh MK. Namun dari sisi hukum, ketika mereka tidak punya kewenangan untuk memeriksa Constitutional Complaint, seharusnya sejak semula MK harusnya menyatakan permohonan tidak dapat diterima (NO), bukannya terus diperiksa dan malah ditolak.
Lalu yang ketiga, soal kedudukan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), yang rasa kewenangannya terlampau berlebihan. Dalam putusan tersebut dibuat logika hukum yang menurut saya agak aneh dan bertentangan dengan Pasal 28 UU 24/2003 yaitu putusan tersebut dikonstruksikan telah diputus dalam RPH yang dihadiri oleh 9 Hakim Konstitusi dan ditandatangani dan diucapkan oleh 8 Hakim Konstitusi dalam sidang pleno. Pertanyaan lebih lanjutnya kewenangan manakah yang lebih tinggi dalam sidang pleno yang dibuka dan terbuka untuk umum atau dalam RPH yang tertutup? Dalam pandangan saya sih tentunya yang mempunyai kekuatan mengikat secara hukum ya dalam sidang pleno yang dibuka dan terbuka untuk umum.
😦
😦
keadilan yg masih berpihak
itu berarti MK masih punya pandangan kalo pemerintah harus wibawa ( baca : otoriter ) agar bisa menjaga keutuhan masyarakatnya
o iya , blog gw di http://blog.wisnuwardhana.net sudah gak dipake lg , skrg alamatnya di http://wisnuwardhana.wordpress.com
thank you
wah saya turut berduka pak anggara, tetapi sesuai dengan pengajar PKPA di PBHI yang lalu, bahwa judicila review masih bisa diajukan kembali…
tetap semangat
Negeri ini oh negeri..
turut berduka cita untuk kita semua…
@luthfi
terima kasih
@ade
terima kasih juga
@wisnu
no comment deh
@totok
terima kasih mas
@jauhari
iya nih
@grahat
terima kasih mas
Jangan Menyerah bang ,….
semangat, masih bisa dilakukan upaya hukum selanjutnya
regards,
yuhendra
oh ya bang, buat banner biar nge-link ke blog abang nih,……
lumayan isinya tentang ilmu hukum acara,
mohon pertimbangannya 😀
@yuhendra
saya enggak menyerah koq, tapi soal banner, saya enggak berminat untuk membuatnya mas
Pingback: Penasaran « Dunia Anggara