Lagi – Lagi Soal Penyadapan
Rekaman hasil penyadapan KPK yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi telah membuat seantero negeri ini menjadi heboh. Nama beberapa petinggi di Republik ini tersebut. Tidak petinggi Polri, tapi juga petinggi Kejaksaan Agung, dan juga LPSK juga diduga terlibat dalam apa yang dinamakan kriminalisasi pimpinan KPK. Tak cukup hanya itu, nama Presiden RI-pun ikut terseret-seret.
Sebenarnya, tulisan ini tidak ingin terlibat dalam content dari isi rekaman tersebut. Namun ingin melakukan sedikit ulasan tentang penyadapan. Seperti yang telah pernah disebutkan oleh saya sebelumnya, bahwa penyadapan pada prinsipnya haruslah dilarang karena melanggar prinsip perlindungan pribadi. Dalam rekaman yang diperdengarkan di gedung Mahkamah Konstitusi itu ada hal yang cukup mengganggu saya diantaranya yaitu MK malah langsung mendengarkan hasil rekaman tersebut tanpa ada uji validitas terlebih dahulu. Uji validitas itu dalam kerangka penyadapan adalah (1) uji keperluan, (2) uji perolehan, dan (3) uji keaslian. Tanpa mengindahkan semua alat uji tersebut MK malah memperdengarkan hasil rekaman tersebut. Dalam hal ini sebaiknya ada prosedur yang harus dilalui dimana hal ini tidak dikenal di KUHAP, ataupun hukum acara pidana khusus lainnya ataupun di UU ITE bagaimana hasil penyadapan tersebut bisa diakui sebagai alat bukti.
Saya sendiri berpandangan bahwa penyadapan harus melewati 3 alat uji yang sudah saya sebutkan yaitu (1) uji keperluan; yaitu apakah penyadapan benar – benar diperlukan karena tidak ada lagi alat bukti yang bisa memperkuat sangkaan atau dakwaan? Penyadapan harus hanya diperbolehkan apabila penegak hukum tidak dapat lagi memperoleh alat bukti lain dalam suatu tindak pidana. Karena itu penyadapan tidak boleh diberlakukan untuk generic criminal offences tapi harus hanya boleh diberlakukan pada most serious criminal offences. Kemudian setelah lolos dari uji pertama maka harus masuk dalam uji kedua yaitu uji perolehan; yaitu penilaian terhadap apakah penyadapan dilakukan menurut cara yang ditentukan oleh hukum. Setelah lolos dari uji ini maka harus masuk kepada uji yang ketiga yaitu apakah hasil penyadapan itu benar – benar asli ataukah ada rekayasa teknologi di dalamnya? Dalam pandangan saya, setelah melewati dan lolos uji tiga rangkai ini maka hasil penyadapan itu baru disahkan oleh melalui pengadilan untuk dapat digunakan sebagai alat bukti.
Nah pertanyaannya apakah MK kemarin melalukan uji tiga rangkai ini, kalau tidak melakukan, lalu bagaimana status hukum dari hasil penyadapan itu? Dalam pandangan saya, jika penyadapan itu begitu saja diberlakukan tanpa didahului oleh uji tiga rangkai seperti yang selama ini telah dipertontonkan dalam Pengadilan Tipikor dan sekarang di MK akan menjadi berbahaya jika semua ini diberlakukan di seluruh jenis pengadilan pidana. Kenapa berbahaya? UU ITE telah membolehkan penyadapan untuk semua jenis tindak pidana, dan hal ini berarti dapat membawa dampak yang tidak sedikit terhadap ketentuan hukum acara dan juga perlindungan terhadap hak privasi
Posting Via Email
krupukulit like this…hehehe…akhirnya masih ada juga orang yang waras
@arsil
yeee, memangnya gue enggak waras bro 🙂
Yang jelas tindakan membeberkan penyadapan oleh KPK malah kontraproduktif, yang pasti seluruh pejabat pemerintah (yang potensial menjadi koruptor) pasti menghindari ber “nego” menggunakan sarana telepon … huh ! untuk kepentingan sesaat mengganggu kepentingan yg lebih besar ….
@rere
bener bang, jangan2 mereka malah bernego menggunakan sarana YM atau GTalk hehehehehe
Setuju dengan pendapat Anggara. Penyadapan tidak boleh seenaknya dilakukan apalagi disebarluaskan. Tindakan itu jelas sangat mengganggu hak asasi dan privasi seseorang. Dapat dibayangkan jika penyadapan dapat dilakukan seenak-enaknya, maka tanpa perlu memperhatikan isinya, orang akan disadap begitu saja. Dari hasil penyadapan yang dilakukan akan dapat dicari-cari, bukan didapati, hasil sadapan yang dapat dipakai untuk pihak yang disadap atau orang lain. Contohnya, bisa saja dari rekaman pembicaraan Anggodo ternyata malah berisi pembicaraan mesra dengan WIL-nya, dan bukan rekaman penyuapan. Nantinya bisa saja rekaman mesra itu dijadikan dasar pemerasan terhadap si target. Jadi bukan hal pokok yang diproses, tetapi temuan tidak sengaja yang dijadikan senjata.
Tentu saja hal ini sangat tidak fair dan melanggar hak asasi seseorang.
Untuk diberlakukan sebagai alat bukti yang sah maka hasil penyadapan harus melalui tiga tahap pengujian yang anda sebutkan mengingat semakin canggihnya peralatan sekarang ini (yang bisa tiru suara orang atau bunyi2an).
Tentang penyiaran oleh MK, bisa diterima untuk Shock Therapy pemberantasan korupsi yang sudah akut. Untuk selanjutnya sebaiknya melalui tahapan tsb.
hum.. mantabs.. 🙂
Pingback: Penyadapan Lagi « Dunia Anggara