Mengapa Kami Menguji Pasal 31 ayat (4) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI
Ijinkan Kami Para Pemohon, memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk memeriksa dan memutus Permohonan Pengujian Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Yang menyatakan : Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Menurut kami pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 G ayat (1), dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni: Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945: Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. & Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945: Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis
Kedudukan dan Kepentingan Hukum Para Pemohon
Kami adalah warga negara Indonesia yang menggunakan beragam sarana komunikasi, termasuk namun tidak terbatas pada sarana komunikasi bergerak, email, sms, dan lain lain, untuk menunjang kehidupan pribadi termasuk berkomunikasi dengan teman sekerja, sahabat, keluarga, maupun lingkungan Para Pemohon secara luas.
Pemohon I dan Pemohon II adalah seorang Advokat yang diangkat berdasarkan ketentuan UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat juga dilindungi hak dan kewenangannya untuk menjalankan profesinya secara bebas dan mandiri. Hak dan kewenangan yang dimiliki Pemohon I dan Pemohon II sebagai Advokat tersebut ditegaskan berdasarkan Pasal 19 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang menyatakan, “Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat”. Sebagai Advokat, pemohon I dan II tentunya menggunakan beragam sarana komunikasi, yang tidak terbatas pada sarana komunikasi bergerak, termasuk email, sms, dan lain-lain, untuk menunjang pekerjaan Pemohon termasuk berkomunikasi dengan klien yang merupakan hubungan komunikasi yang tidak boleh dilakukan penyadapan.
Sebagai yang bekerja sebagai seorang Peneliti HAM dan Demokrasi Pemohon III menggunakan beragam sarana komunikasi untuk dapat menjalankan aktivitasnya dengan baik dan menghasilkan karya–karya riset yang dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya dan untuk itu membutuhkan komunikasi melalui beragam sarana komunikasi untuk dapat mencari, memperoleh, mendapatkan, memiliki, menyimpan, meneruskan, dan sebagainya untuk memperoleh bahan yang diperlukan untuk menuntaskan penelitian yang dilakukan olehnya yang kemudian dipublikasikan ke masyarakat luas. Pemohon III merasa dengan pengaturan tata cara intersepsi (penyadapan) yang hanya diatur dalam Peraturan Pemerintah dapat mengganggu setidak–tidaknya punya potensi mengganggu hak dan kewenangan konstitusional Pemohon III yang dijamin dalam UUD 1945.
Dengan berlakukan ketentuan A Quo yang mengatur tentang tata cara intersepsi atau penyadapan maka berpotensi besar untuk merusak perlindungan hak dan/atau kewenangan konstitusional dari Para Pemohon terhadap hak atas atas keamanan diri pribadi (hak atas privasi/rights of privacy) dengan argumentasi:
Bahwa hak atas keamanan diri pribadi dapat dielaborasi termasuk namun tidak terbatas pada perlindungan atas rumah dan/atau tempat tinggal Para Pemohon yang tidak boleh dimasuki tanpa ijin dan/atau secara sewenang – wenang tanpa perintah atau melalui otoritasasi dari badan – badan kekuasaan kehakiman, keamanan dan/atau kerahasiaan atas hubungan korespondensi atau surat menyurat, yang dalam hal ini juga dapat diperluas pada hubungan komunikasi antara Para Pemohon dengan pihak lain atau yang komunikasi yang bersifat pribadi dan berlangsung secara dua arah
Bahwa pembatasan atau penghadangan melalui tindakan intersepsi atau penyadapan terhadap alat – alat komunikasi dari Para Pemohon dapat dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum dan juga bertentangan dengan hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD 1945 beserta perubahan – perubahannya
Bahwa setiap tindakan dari aparat penegak hukum yang dapat dikategorikan sebagai “upaya paksa” hanya boleh dilakukan berdasarkan Undang – Undang dan harus diatur tata cara atau hukum acaranya melalui Undang – Undang yang secara khusus mengatur hukum acara / hukum formil terhadap penegakkan hukum materil
Bahwa Para Pemohon berpendapat ketentuan tata cara atau hukum acara tentang intersepsi atau penyadapan masuk dalam kategori upaya paksa dan karena itu harus diatur melalui Undang Undang yang secara khusus mengatur tentang hukum acara penyadapan
Pengaturan pembatasan dan/atau penghadangan dan/atau pencabutan hak dari setiap individu haruslah diatur dan ditetapkan oleh Undang–Undang. Ketentuan Pasal 31 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengamanatkan pengaturan intersepi (penyadapan) melalui Peraturan Pemerintah jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan mempunyai potensi besar untuk disalahgunakan dan/atau terjadinya kesewenang-wenangan.
Dasar Permohonan
Bertentangan dengan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945
Bahwa Penyadapan oleh aparat hukum atau intitusi resmi negara tetap menjadi kontroversial karena merupakan praktek invasi atas hak-hak privasi warga negaranya yang mencakup privasi atas kehidupan pribadi, kehidupan keluarga maupun korespodensi. Mengingat Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 telah memberikan jaminan perlindungan atas diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Maka adanya penyadapan berpotensi melanggara ketentuan tersebut.
Memang menurut pemohon, penyadapan juga berguna sebagai salah satu metode penyidikan, penyadapan merupakan alternatif jitu dalam investigasi kriminal terhadap perkembangan modus kejahatan maupun kejahatan yang sangat serius, dalam hal ini, penyadapan merupakan alat pencegahan dan pendeteksi kejahatan, namun penyadapan juga memiliki kecenderungan yang berbahaya bagi hak asasi manusia, bila berada pada hukum yang tidak tepat (karena lemahnya pengaturan). oleh karena itu pembatasan-pembatasan atas prosedur dan kewenangan penyadapan mutlak diperlukan karena penyadapan berhadapan langsung dengan perlindungan hak privasi individu.
Pemohon mengingatkan bahwa Konvensi Hak Sipil Politik telah memberikan hak bagi setiap orang untuk dilindungi dari campur tangan yang secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dalam masalah pribadi, keluarga, rumah atau korespondensinya, serta serangan yang tidak sah terhadap kehormatan dan nama baiknya. Oleh karena itu hak ini harus dijamin agar tidak ada campur tangan dan serangan yang berasal dari pihak berwenang negara maupun orang-orang biasa secara tak berdasar. Negara juga memiliki kewajiban-kewajiban untuk mengadopsi langkah-langkah legislatif dan lainnya untuk memberikan dampak pada pelarangan terhadap campur tangan dan serangan tersebut serta perlindungan atas hak ini. Dalam paradigma inilah hukum penyadapan harus diletakkan.
Bertentangan dengan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945
Karena penyadapan sebenarnya merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia maka sangat wajarlah dan sudah sepatutnya jika negara ingin menyimpangi hak privasi warga negara tersebut, maka negara haruslah menyimpangi dalam bentuk UU bukan dalam bentuk PP, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain”
Konsisten dengan Putusan MK terdahulu
Para pemohon ingat bahwa dalam pertimbangan hukum putusan MK dalam Perkara Nomor 006/PUU-I/2003, MK telah menyatakan: bahwa hak privasi bukanlah bagian dari hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights), sehingga negara dapat melakukan pembatasan terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut dengan menggunakan Undang-Undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lebih lanjut MK menyatakan, “untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan kewenangan untuk penyadapan dan perekaman Mahkamah Konstitusi berpendapat perlu ditetapkan perangkat peraturan yang mengatur syarat dan tata cara penyadapan dan perekaman dimaksud”.
Bahwa pertimbangan hukum putusan MK dalam Perkara Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 menyatakan: ”Mahkamah memandang perlu untuk mengingatkan kembali bunyi pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 006/PUU-I/2003 tersebut oleh karena penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan terhadap hak-hak asasi manusia, di mana pembatasan demikian hanya dapat dilakukan dengan undang-undang, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945. Undang-undang dimaksud itulah yang selanjutnya harus merumuskan, antara lain, siapa yang berwenang mengeluarkan perintah penyadapan dan perekaman pembicaraan dan apakah perintah penyadapan dan perekaman pembicaraan itu baru dapat dikeluarkan setelah diperoleh bukti permulaan yang cukup, yang berarti bahwa penyadapan dan perekaman pembicaraan itu untuk menyempurnakan alat bukti, ataukah justru penyadapan dan perekaman pembicaraan itu sudah dapat dilakukan untuk mencari bukti permulaan yang cukup. Sesuai dengan perintah Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945, semua itu harus diatur dengan undang-undang guna menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar hak asasi”.
Produk Hukum berbentuk PP akan Melemahkan Hak Konstitusional pemohon.
Di samping itu, Pengaturan melalui PP memiliki Ruang Lingkup dan Daya Berlaku Yang terbatasmaka menurut pemohoan hal tidak sesuai dengan perlindungan hak asasi para Pemohon. Dimana pengaturan penyadapan dalam wadah PP tersebut tidak akan cukup mampu menampung seluruh artikulasi mengenai pengaturan mengenai penyadapan. Disamping itu pula secara normative akan mengurangi hak-hak konstitusional pemohon.
Hal tersebut juga potensial disalahgunakan oleh pelaku kekuasaan pemerintahan dan aparat penegak hukum. Karena itu pengaturan penyadapan dalam regulasi seperti dalam peraturan internal lembaga, Permen, Peraturan Pemerintah dan lain-lain di bawah UU seperti dalam PP atau SOP internal lembaga tak akan mampu menampung seluruh artikulasi ketentuan yang benar mengenai hukum penyadapan. Oleh karena itu penyadapan haruslah diletakkan dalam kerangka undang-undang, khususnya pada Hukum Acara Pidana. Karena Hukum yang mengatur penyadapan oleh intitusi negara harus lebih ditekankan pada perlindungan hak atas privasi indvidu dan/atau warga negara Indonesia.
Hukum Acara/Tata Cara Penyadapan atau Intersepsi Harus Diatur dengan Hukum Acara Pidana atau UU Penyadapan tersendiri
Pada prinsipnya, seperti yang berlaku di negara-negara lain, tindakan penyadapan dilarang, demikian pula halnya di Indonesia, kecuali untuk tujuan tertentu yang pelaksanaannya sangat dibatasi oleh undang-undang yang pada dasarnya terkait dengan upaya penegakkan hukum. Pelarangan tersebut pada dasarnya adalah untuk menjamin hak atas perlindungan atau keamanan diri pribadi atau hak atas privasi dari serangan terhadap hak atas privasi yang dilakukan secara sewenang – wenang (illegal invasion of privacy).
Sampai saat ini di Indonesia setidaknya terdapat sembilan UU yang memberikan kewenangan penyadapan kepada instansi penegak hukum dengan cara pengaturan tentang hukum acara dan/atau tata cara penyadapan yang berbeda – beda pula diantaranya adalah (1) Bab XXVII WvS Tentang Kejahatan Jabatan, Pasal 430 – 434, (2) UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, (3) UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (4) UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, (5) Perpu No 1 Tahun 20002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, (6) UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat, (7) UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, (8) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan (9) UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Setidaknya sepengetahuan Pemohon juga terdapat 2 Peraturan Pemerintah dan 1 Peraturan Menteri yang juga mengatura tentang Penyadapan/Intersepsi yaitu (1) PP No. 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (2) PP No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi, dan (3) Permenkominfo No. 11 Tahun 2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi.
Pemohon menyadari karena beragamnya pengaturan yang mengatur tentang hak penyadapan tersebut memang mengandung kelemahan dimana satu aturan sangat mungkin bertentangan atau tidak sejalan dengan peraturan yang lain. Dan satu prosedur penyadapan dalam satu undang – undang sangat mungkin berbeda dengan satu prosedur penyadapan dalam undang – undang yang lain. Oleh karena itu reaksi hukum untuk melakukan “kodifikasi” hukum acara atau tata cara penyadapan/intersepsi harus didukung namun ketentuan “kodifikasi” dari hukum acara tersebut tidak bisa hanya diatur dalam level setingkat Peraturan Pemerintah sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 31 ayat (4) UU ITE dan untuk itu pada dasarnya diperlukan pembaharuan hukum acara pidana Indonesia khususnya pembaharuan UU No 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dalam hal penyediaan aturan yang komprehensif tentang Penyadapan untuk dapat memperkuat dan lebih melindungi jaminan atas hak privasi dari serangan atau campur tangan yang sangat mungkin sewenang – wenang dari aparat penegak hukum
Namun, hak atas privasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 tetap bisa dibatasi pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan Pasal 28 J ayat (2) dan semata – mata hanya diperbolehkan sepanjang untuk kepentingan penegakkan hukum yang harus ditetapkan dengan Undang – Undang dimana hal ini telah sesuai dengan pertimbangan dari Mahkamah Konstitusi RI pada putusan – putusan Perkara Nomor 006/PUU-I/2003 dan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 Oleh karena itu Para Pemohon berpendapat bahwa pengaturan dan/atau peraturan sepanjang mengenai hukum acara khususnya yang berkaitan dengan upaya paksa dan/atau hak atas privasi harus diatur dalam KUHAP atau UU Penyadapan tersendiri dan bukan dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 31 ayat (4) UU ITE.
Untuk risalah sidangnya silahkan unduh disini
Mantab ! itu UU memang bermasalah sejak dalam kandungan….. *dukung penuh judicial review*
penyadapan terhadap komunikasi elektronik adalah sesuatu yang wajar, saya setuju dengan pemerintah yang menyatakan bahwa dengan penyadapan beberapa kasus korupsi, teroris dan lain lain dapat terdeteksi, saya menyadari bahwa terdapat dua sisi dalam menyikapi hal ini, sisi dimana hak hak warga negara akan dapat disalahgunakan dan di satu sisi lagi manfaat yang dapat diambil akan jauh lebih besar. bagaimana jika kasus korupsi dan teorisme yang membunuh ratusan manusia tidak dapat terdeteksi???
artikel yg menarik.UU ITE ini emang ga pernah habis masalahnya.selalu ajah ada masalah terbaru yg datang.
Terima kasih atas yang sedang dijalankan anda dan rekan2, semoga berhasil.
mantap
kampus unand
Bagus…! saya setuju dengan para pemohon, dan saya do’a kan semoga berhasil ya….! karna tu UU emang slalu bermasalah…..
Mas anggara yth, setelah membaca artikel di atas, ada beberapa hal yang tidak saya pahami yaitu maksud dari artikulasi itu sendiri dalam pengaturan mengenai penyadapan. Mohon penjelasannya.