Kerja Keras
Ternyata saya punya bahan lagi untuk mengupdate blog ini lagi dan sekali lagi ini tak berhubungan sama sekali dengan hukum dan UU dan bahkan keramaian #petisirakyat di twitter tapi ini soal kerja keras. Sejak sebelum bulan puasa, saya sedang rajin mondar mandir di PN Jakarta Pusat. Nah, kali ini selepas saya menyelesaikan tugas di PN Jakarta Pusat, tiba – tiba ada seorang anak kecil menghampiri saya dan meminta “sedekah”. Saya ingat wajah anak ini, karena saya pernah bertemu dengannya sebelum puasa saat saya mengaso di warung – warung pinggiran dekat PN Jakarta Pusat.
Saya teringat perbincangan saat berada di warung itu. Ketika itu anak itu juga meminta sedekah pada saya namun saya melambaikan tangan tanda saya tak sedang berkenan memberi sedekah. Sesaat kemudian anak tersebut kemudian pergi. Tak lama setelah anak itu pergi, si Ibu pemilik warung kemudian berkomentar
“Saya tahu pak, Ibunya ada koq, masih muda, punya anak 4 dan semuanya masih kecil – kecil”
Lalu sayapun menjawab sederhana “Oh ya, darimana Ibu tahu”
“Lah, lihat saja di seberang itu, lihat kan pak” katanya seraya menunjuk seorang Ibu muda dengan 4 orang anaknya yang masih kecil –kecil
Saya terdiam, dan pemilik warung itu kembali berkata “Ibunya masih muda, tapi malas serta maunya hanya mengemis, dan parahnya mengajarkan anak – anaknya untuk mengemis, saya kenal orangnya karena sering mengemis dan menyuruh anak – anaknya mengemis di sekitar wilayah ini”
Saya hanya tersenyum dan kembali si Ibu pemilik warung itu melanjutkan “ceramah”nya “Saya pak, biar hanya punya warung kecil begini, tapi saya nggak mau bermalas – malasan, saya mau anak saya kalau perlu jadi sarjana, biar nggak susah dan melarat hidupnya seperti saya ini. Orang itu (ia menunjuk kea rah Ibu pengemis itu), ibaratnya masih bisa jual tenaga jadi buruh cuci di sekitar sini, meski bayarannya hanya Rp. 400 ribu, tapi itu lebih terhormat daripada mengemis”
Saya terkejut tapi belum habis keterkejutan saya ini, pemilik warung itu kembali bercerita “Saya mau anak – anak saya jadi pinter semua pak, kalau perlu saya harus banting tulang buat sekolah anak tentu saya akan lakukan, tapi saya tak mau mengemis dan saya tak mau menyuruh anak – anak saya mengemis”
Saya tertunduk malu, bukan apa – apa, tiba – tiba saya teringat wajah ibu saya. Dulu jaman saya masih sekolah, saya sering main – main dan ndak serius belajar. “Wejangan” dari pemilik warung itu bagai tamparan untuk saya. Rasanya kalau bisa membalik putaran waktu, saya mau kembali ke masa lalu dan beri nasihat pada saya di masa lalu agar tak menyia nyiakan perjuangan seorang Ibu untuk memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak – anaknya.
Renungan Ramadhan ini ?
Wah cerita yang menyentuh perasaan di bulan Ramadhan ini.
Memang kerja keras dan pintar merupakan kunci keberhasilan dalam hidup.
Lha mbiyen sampean kuliahe pacaran thok ~ rancaekek dago dll wkwk
Nggak sopan 😀
@rudi
Nggak sopan 😀
Ada beberapa psotingan saya, seperti mbak T penunggu rumah saya di Jatim, hanya dengan jualan usus (tiap jam 3 pagi keliling tukang jagal untuk mengumpulkan usus), bisa beli rumah persis di depan rumah orangtuaku alm. Juga sopir taksi yang bekerja di Jakarta, anak isterinya di desa…anak-anaknya bisa sarjana dan dua2 nya kerja, isterinya membantu membuka warung di rumahnya. Yang penting memang kemauan kerja keras, tak malu..dan mestinya malu untuk menengadahkan tangannya
Dilema dijalan, makin banyaknya pengemis anak-anak…biar nggak tega saya berusaha untuk tidak memberi uang..lebih baik disalurkan langsung ke Panti Asuhan bisa berupa makanan, buku, alat sekolah, uang dll.
kerja keras kerja cerdas, mandiri dan tanggung jawab