Kebijakan Sensor Internet Ala Kementerian Kominfo


Penyalagunaan Internet! Kedua kata ini telah menjadi tren baru yang dilahap oleh media kita. Kalimat ini menggejala setelah terkuaknya misteri hilangnya pada kasus Marietta Nova Triani (14 tahun) yang berkenalan dengan Febriari (18 tahun) di situs jejaring sosial Facebook. Tak lama dari kasus itu, bermunculan beberapa kasus yang mirip dengan kasus yang melanda Marietta Nova Triani tersebut diantaranya adalah kasus yang melanda AB, siswi kelas satu SMAN 22 Surabaya itu juga diduga “diculik” pacarnya yang diduga bernama Januar alias Jeje alias Edo. Pacar AB itu pemuda Jakarta yang dikenal lewat situs jejaring sosial Facebook.

Kedua kasus ini kemudian menjadi penanda munculnya beragam kasus serupa yang muncul di seluruh Indonesia. Setelah kasus “penculikan” menggunakan sarana internet menyeruak, tak lama kemudian Kementerian Kominfo mengeluarkan rilis tentang Sikap Kementerian Kominfo Dalam Menyikapi Peningkatan Maraknya Penyalah-Gunaan Layanan Internet tertanggal 11 Februari 2010. Hal yang paling menarik dari sikap Kementerian Kominfo ini adalah upaya yang sedang dilakukan oleh Kementerian Kominfo untuk meminimalisasi dampak negatif ini adalah sosialisasi Rancangan Peraturan Menteri Kominfo tentang Konten Multimedia.

Menurut catatan penulis, rancangan ini tidak serta merta hadir pada saat kasus ini menyeruak, namun sudah mulai ada bahkan sebelum UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disahkan. Pada 2006 sebuah rancangan Peraturan Menteri Kominfo tentang Pedoman Konten Multimedia telah disiapkan oleh Direktorat Jenderal Aplikasi Telematika. Pedoman yang disusun tersebut setidaknya bertujuan untuk (1) menyediakan panduan bagi pedoman standar konten multimedua; (2) Menyediakan panduan bagi pedoman perilaku pemuatan konten multimedia di Internet; (3) Merumuskan peran pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan Internet sehat bagi pengguna; dan (4) Menyediakan mekanisme pengaduan terkait dengan pemuatan konten yang tidak diinginkan oleh masyarakat pengguna. Pedoman Konten Multimedia ini dirancang sebagai panduan yang bersifat mengikat bagi semua pihak penyedia konten dan juga pelaku industri konten multimedia. Secara umum Pedoman yang disusun ini panduan konten yang berkaitan dengan kesopanan, kepantasan, dan kesusilaan, dan secara lebih khusus mencakup konten yang bermuatan kekerasan; kesusilaan; pelecehan nilai-nilai agama dan kehidupan beragama; pelecehan sosial dan kesukuan; kasar dan makian; fitnah, penipuan dan kriminalitas; perlindungan terhadap hak-hak pribadi; norma kekeluargaan dan perlindungan anak, remaja dan wanita.

Harus diakui sejak disahkannya UU ITE, kontroversi selalu muncul dan semakin memuncak pada saat kasus Prita Mulyasari digelar sehingga menyebabkan pihak Kejaksaan juga gamang menggunakan UU ITE. Hal ini terbukti pada saat persidangan di Pengadilan Negeri Bogor atas nama Terdakwa Nurarafah alias Farah (18 tahun) yang dilaporkan oleh Felly Fandini Julistin Karnories (18) karena telah menghinanya melalui Facebook. Pihak Kejaksaan malah hanya menggunakan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Kontroversi inilah yang hendak diminimalisir oleh Pihak Kementerian Kominfo dengan mengeluarkan Rancangan Peraturan Menteri Kominfo tentang Konten Multimedia yang merupakan revisi dari Rancangan Peraturan yang sebelumnya.

Secara umum Rancangan Peraturan ini memuat 6 (enam) Bab dan 32 Pasal yang terdiri atas Ketentuan Umum, Konten Yang Dilarang, Peran Penyelenggara, Peran Pemerintah dan Masyarakat, Sanksi Administratif, dan Ketentuan Penutup. Pedoman yang tengah disusun ini memang diminta masukan dari masyarakat, bahkan Kementerian Kominfo menegaskan batas waktu pemberian masukan tersebut dari 11 Februari – 19 Februari 2010. Menurut Rancangan Peraturan ini, maksud dari pembentukan Peraturan Menteri Kominfo ini adalah untuk melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik, Dokumen Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum. Selain itu tujuan dari pembentukan Peraturan Menteri Kominfo ini adalah untuk memberikan pedoman kepada Penyelenggara untuk bertindak secara patut, teliti, dan hati-hati dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya yang terkait dengan Konten Multimedia.

Namun terdapat beberapa persoalan kunci pada Rancangan Peraturan Menteri Kominfo ini yang juga tidak lepas dari problem prinsipil perumusan norma dalam UU ITE yang menjadi dasar dari pemberlakuan Rancangan Peraturan Menteri ini. Beberapa yang dapat diidentifikasi menurut Penulis adalah:

Pertama, Negara berusaha melepaskan perannya dan sekaligus juga memindahkan tanggungjawabnya kepada Penyelenggara Jasa Multimedia, hal ini dapat dilihat pada beban yang besar yang diletakkan kepada Penyelenggara Jasa Multimedia yang secara umum dilarang untuk mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya konten pornografi dan/atau kesusilaan, perjudian, berita bohong, penyebaran kebencian berbasis SARA, pemerasan dan/atau pengancaman, ancaman kekerasan, muatan privasi, HAKI, dan Penghinaan. Namun dalam konteks penghinaan, rumusan kata penghinaan diganti dengan kalimat “tindakan yang merendahkan keadaan dan kemampuan fisik, intelektual, pelayanan, kecakapan, dan aspek fisik maupun non fisik lain dari suatu pihak.” Keseluruhan jenis larangan ini meski bila dilanggar oleh Penyelenggara Jasa Multimedia dan kepada pelanggarnya telah diberikan sanksi administratif tetap tidak akan menghapus upaya pidana yang sedang atau akan berjalan.

Kedua, munculnya serangan terhadap privasi secara masif dalam bentuk penyadapan (intersepsi), berdasarkan ketentuan Pasal 8 Penyelenggara wajib memantau seluruh Konten dalam layanannya yang dimuat, ditransmisikan, diumumkan, dan/atau disimpan oleh Pengguna yang dilakukan dengan cara: (a) membuat aturan penggunaan layanan; (b) melakukan pemeriksaan mengenai kepatuhan Pengguna terhadap aturan penggunaan layanan Penyelenggara; (c) melakukan Penyaringan; (d) menyediakan layanan Pelaporan dan/atau Pengaduan; (e) menganalisa Konten Multimedia yang dilaporkan dan/atau diadukan oleh Pengguna; dan (f) menindaklanjuti hasil analisis atas Laporan dan/atau Pengaduan dari suatu Konten Multimedia. Selain itu Penyelenggara, berdasarkan ketentuan pasal 9 ayat (3), diwajibkan untuk melakukan pemeriksaan secara rutin mengenai kepatuhan Pengguna terhadap aturan penggunaan layanan Penyelenggara.

Ketiga, tanggung jawab utama menentukan sebuah konten tersebut masuk dalam kategori konten yang dilarang atau tidak diserahkan pada otorisasi Penyelenggara Jasa Multimedia. Hal ini memungkinkan meningkankan sensor diri yang berlebihan dari para Penyelenggara Jasa Multimedia terhadap suatu konten yang masuk dalam wilayah abu – abu

Keempat, meski dibentuk Tim Konten Multimedia yang menjadi penentu akhir pada konten yang masuk dalam wilayah abu – abu, namun teknis pelaksanaannya kembali diserahkan pada Penyelenggara Jasa Multimedia

Kelima, keseluruhan proses ini justru menempatkan bahwa norma pengaturan “mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi dan/atau dokumen elektronik” sebagaimana diatur dalam UU ITE memang dibuat untuk menjangkau keseluruhan proses penyelenggaraan sistem elektronik tersebut. Sehingga menempatkan orang – orang yang secara hukum pertanggung jawabannya sangat kecil akan mudah untuk dikenai tindakan hukum baik administrasi dan/atau pidana dan/atau perdata.

Melihat desain rancangan Peraturan Menteri Kominfo ini dapat dinyatakan bahwa Kementerian mengikuti pola pengaturan konten Multimedia seperti yang terjadi di Singapura dan China. Dalam konteks ini sangat sulit dibayangkan industri kreatif terutama yang terkait dengan teknologi informasi akan berkembang sesuai dengan harapan atau tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah. Penulis hanya berharap, bahwa Kementerian Kominfo tidak terburu – buru mengesahkan rancangan ini dan meminta masukan dari seluruh pihak secara terbuka termasuk dari organisasi – organisasi hak asasi manusia di Indonesia. Semoga

Tulisan ini dimuat juga di PrimairOnline

Advertisement
8 comments
  1. weleh…kalo di china…hasil pencarian kata kunci tiananmen cuma menunjukan foto turis yang sedang foto, ato gambar lapangan. Beda dengan di negara lain kalo kita cari yang muncul gambar tank, orang berdarah-darah, dll.

    Mungkin kalo peraturan ini diterapkan, kemudian kita cari kata kunci bank century yang muncul kemudian gambar customer servicenya yang ramah, kantornya yang mentereng, dll. 😀

    • Alex© said:

      *ngakak baca komen di atas*

      Boleh jadi, Mas. Dan gambar Kerbau akan berganti dengan gambar kebun istana dengan iringin musik “Ku Yakin Sampai Di Sana” 😆

      Memang polanya ini meniru pola Great Firewall of China kok. Mulai melalukan identifikasi konten sampai nanti akan membuat whitelist – bukan blacklist – yang mana yang boleh diakses menurut pemerintah 😀
      .
      .
      .
      Ah iya, Mas Anggara, lama tak bersua *halah*. Aku juga mampir ke mari karena ingat pernah baca soal Permen Konten Multimedia ini di tahun 2008 lalu. Sudah dua tahun berlalu ya? Dan tiba-tiba komunitas netter kita tersengat, termasuk aku sendiri, saat rancangan ini bangun dari tidurnya. Sepertinya Tuan di Kominfo itu belakangan getol sekali mau menerapkan peraturan-peraturan, bukannya membenahi infrastruktur telekomunikasi kita yang ngawur ini. Padahal ada hal-hal lain juga yang tak kalah penting, termasuk peranan BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) untuk mendesak ada standar layanan telekomunikasi yang memuaskan pelanggan.

      Parah. Siapa sih yang milih itu orang jadi menteri? 😕

      *gakmerasamilihdia.com*

    • anggara said:

      @alex
      Terima kasih atas komentarnya 🙂

    • anggara said:

      @reza
      Ya begitulah, entah kenapa pada hobi bikin aturan kayak gini 😦

  2. wibisono said:

    tolak RPM konten Multimediaaaaaaaaaa

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: