Perlukah Bloger Indonesia Punya Kode Etik?
Saya tergelitik membaca berita di Kompas dan Okezone tentang pernyataan Pak Cahyana soal perlunya Kode Etik bagi Bloger Indonesia. Kompas menulis laporannya demikian “Lebih lanjut ia menyarankan supaya para blogger segera menyusun kode etik blogger sehingga mereka mempunyai hak secara aktif mengisi blognya. Dengan demikian tidak bisa dijerat dengan UU NO 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 27 ayat 3 yang menyinggung pencemaran nama baik, yang mana dengan pasal ini Prita dijerat.”
Saya sendiri, agak bingung dengan pernyataan beliau, karena tanpa adanya Kode Etik sekalipun, bukan berarti warga Indonesia tidak punya hak untuk menyebarluaskan informasi. Sekalipun ada Kode Etik, juga bukan berarti bloger dapat meminimalisir adanya jerat hukum. Jurnalis yang sudah punya Kode Etik yang telah disahkan oleh Dewan Pers sekalipun, tidak membuat ancaman jerat hukum bisa diminimalisir.
Lagipula saya tetap konsisten dengan pendapat saya, bahwa rumusan tindak pidana dalam UU 11/2008 itulah yang bermasalah dan bukan berarti dengan mudah dibelokkan dengan masalah ada tidaknya Kode Etik untuk Bloger Indonesia. Dan untuk diketahui saja, bahwa tindak pidana penghinaan setidaknya diatur oleh 5 UU diantaranya KUHP, UU Penyiaran, UU Pilpres, UU Pemerintahan Daerah, dan UU ITE (mungkin juga UU Pemilu DPR, DPRD, dan DPD juga ada). Kesusilaan termasuk pornografi malah jauh lebih parah, tindak pidana itu diatur oleh setidaknya 7 UU diantaranya di KUHP, UU Penyiaran, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Perlindungan Anak, UU Pers, UU ITE, dan terakhir UU Pornografi. Kalau menurut pendapat Prof JE Sahetapy, negara yang memiliki banyak UU untuk mengatur satu tindak pidana merupakan negara yang lemah atau negara yang masuk pada fase gawat darurat.
Selain itu norma pidana dalam UU 11/2008 juga telah melanggar beberapa prinsip hukum pidana. Saya coba mengutip beberapa prinsip penting yang salah satunya diakui juga oleh Mahkamah Konstitusi yaitu dalam Putusan Mahkamah Putusan Mahkamah Konstitusi No 4/PUU-V/2007 tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Mahkamah telah menyatakan bahwa (i) ancaman pidana tidak boleh dipakai untuk mencapai suatu tujuan yang pada dasarnya dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan penderitaan dan kerugian yang lebih sedikit, (ii) ancaman pidana tidak boleh digunakan apabila hasil sampingan (side effect) yang ditimbulkan lebih merugikan dibanding dengan perbuatan yang akan dikriminalisasi, (iii) ancama pidana harus rasional, (iv) ancaman pidana harus menjaga keserasian antara ketertiban, sesuai dengan hukum, dan kompetensi (order, legitimation, and competence), dan (v) ancaman pidana harus menjaga kesetaraan antara perlindungan masyarakat, kejujuran, keadilan prosedural dan substantif (social defence, fairness, procedural and substantive justice)
Selain itu saya juga hendak mengutip pendapat Yenti Ganarsih yang merujuk pada pendapat Hoenagels yang menekankan pentingnya mempertimbangan berbagai faktor untuk melakukan kriminalisasi agar tetap menjaga dalil ultimum remedium dan tidak terjadi over criminalization antara lain : (a) Jangan menggunakan Hukum Pidana dengan cara emosional; (b) Jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak jelas korban atau kerugiannya; (c) Jangan menggunakan hukum pidana, apabila kerugian yang ditimbulkan dengan pemidanaan akan lebih besar daripada kerugian oleh tindak pidana yang akan dirumuskan; (d) Jangan menggunakan hukum pidana apabila tidak didukung oleh masyarakat secara kuat; (e) Jangan menggunakan hukum pidana apabila penggunaannya diperkirakan tidak akan efektif; (f) Hukum pidana dalam hal-hal tertentu harus mempertimbangkan secara khusus skala prioritas kepentingan pengaturan; (g) Hukum pidana sebagai sarana represif harus didayagunakan secara serentak dengan sarana pencegahan.
Beberapa pendapat soal perlunya Kode Etik disuarakan salah satunya oleh Bang Jarar. Bahkan ia menulis surat terbuka dalam penyelenggaraan Pesta Blogger 2009 nanti
Terlepas dari beberapa pendapat diatas, saya sendiri telah menulis artikel termasuk tips untuk dalam ngeblog. Hanya dalam soal perlu tidaknya Kode Etik, saya hanya menyarankan agar para bloger mempertimbangkan beberapa fakta berikut:
Kode Etik umumnya dijumpai dalam profesi tertutup, seperti Advokat, Notaris, dan Dokter, namun ada pengecualian untuk profesi jurnalis yang merupakan profesi terbuka. Namun setidaknya ada titik kesamaan adanya suatu disiplin ilmu tertentu yang harus dipelajari jika terjun mengarungi dunia profesi tersebut.
Kode Etik juga umumnya disusun oleh organisasi tunggal atau setidaknya ada satu organisasi yang kredibel dan dihormati oleh masyarakat yang beranggotakan orang – orang yang memiliki kesamaan profesi
Kode Etik juga umumnya menuntut adanya loyalitas, ketidakpatuhan terhadap kode etik akan bisa dijatuhi sanksi etika yang bisa berujung pada pemecatan keanggotaan
Kode Etik juga umumnya menuntut adanya sumpah atau janji dan tidak semata – mata hanya bicara “hoi iniloh saya/kami punya kode etik”
Dan terakhir, meski pelanggaran terhadap Kode Etik suka berserempetan dengan pelanggaran hukum, namun Kode Etik jelas bukan norma hukum, mekanisme penegakkannyapun sudah berbeda, apalagi sanksinya
Nah demikian penjelasan saya, kalau ada kekurangan ya saya mohon maaf
Posting Via Email
soal detail hukum, kau ahlinya, bang anggara. aku hanya “tahu sedikit-sedikit tentang banyak hal”. 🙂
tentang pernyataan bang cahyana di kompas, aku bukan cuma tergelitik, tapi TIDAK SETUJU. seperti dikutip di atas: “…supaya para blogger segera menyusun kode etik blogger sehingga mereka mempunyai hak secara aktif mengisi blognya. dengan demikian tidak bisa dijerat dengan uu no 11/2008….”
INI TOTAL SALAH! pernyataan ngawur!
siapa bilang blogger mesti punya kode etik dulu baru MEMPUNYAI HAK MENGISI BLOG? di mana aturan begini pernah dicantumkan? jangankan blogger, anak “kemarin sore” pun bisa jadi wartawan dan menulis di koran tanpa harus punya kode etik — tanpa harus lebih dulu menjadi anggota pwi, aji, dll yang mensyaratkan kode etik.
yang lebih ngawur lagi adalah pernyataan kedua bang cahyana: “…dengan demikian tidak bisa dijerat dengan uu no 11/2008….”
bah! jadi mentang-mentang aku mengaku blogger yang sudah punya kode etik lantas aku tidak bisa dijerat hukum? enak kalilah aku. kutulislah besok artikel yang menghujat agama atau menjelek-jelekkan temanku, lalu di akhir artikel kubikin banner, “BLOG BERITA PUNYA KODE ETIK LHO…, JADI KAGAK BOLEH DIGUGAT DENGAN UU NO 11.”
kompas koran besar dan berpengaruh. kusarankan kompas segera membuat artikel susulan untuk “membenarkan” seperti seharusnya — kubuat dalam tanda kutip karena bagiku kebenaran itu relatif, tergantung dari sisi mana kita melihat, dan aku tidak mau mengklaim kebenaranku sebagai kebenaran mutlak.
jangan sampai tulisan di kompas tersebut dibaca oleh teman-teman blogger maupun calon blogger, lantas mereka menulis hal-hal yang bisa membawa mereka ke bui hanya karena merasa sudah aman dengan bertamengkan kode etik.
KITA HARUS SADARI…
bahwa menyampaikan pendapat, mengelola informasi/berita, mengkritik, dll adalah HAK ASASI MANUSIA yang dijamin negara — dan itu juga hak SETIAP WARGA NEGARA, bukan cuma wartawan atau blogger. jadi siapapun bebas menulis atau mengkritik tanpa harus jadi “anggota pasukan kode etik bertele-tele”.
yang jadi persoalan, mengapa aku sarankan perlunya blogger bikin kode etik, adalah untuk mengurangi konten-konten jahat seperti pornografi, menghujat agama, fitnah terhadap orang lain, dsb. bukan berarti tanpa kode etik, blogger tidak berhak menulis.
untuk bang anggara,
setuju aku, kode etik tidak sama dengan sanksi hukum. bagaimana kalau abang usulkan ke teman-teman di jakarta — karena aku terlalu jauh di danau toba ini — supaya segera dibentuk organisasi/asosiasi blogger indonesia, dan lembaga inilah yang membuat kode etik secara “keroyokan” dengan menampung pendapat berbagai pihak. nah, siapa blogger yang mau bergabung ke lembaga itu, silakan menjadi anggota, sekaligus mematuhi aturan ad/art dan kode etik tadi. kalau si blogger ketahuan melanggar kode etik, dia dikenai sanksi. blogger yang tidak mau bergabung, tentunya tidak dipaksa untuk mematuhi kode etik itu.
tapi kurasa blogger indonesia akan merasakan banyak manfaat dengan bergabung di sana, apalagi ada blogger yang paham hukum kayak kau, juga ada bang tyo, rusdi, wicak, iman, enda, andreas, budi putra, dll. cepatlah bang, mumpung belum banyak “korban”, biar “ngeblog yang sehat” itu bukan cuma di atas kertas dan di layar komputer.
CATATAN YG TIDAK BEGITU PENTING:
bang anggara, di akhir artikelmu kok kau minta maaf sih? janganlah, tak ada orang yang kausakiti. kalau ada yang merasa, ya biarin saja merasa.
@jarar
terima kasih atas komentarnya bang, cuma posisi dasar saya soal tindak pidana penghinaan tetap sama dan tidak bisa diatasi dengan dengan sekedar Kode Etik. Tapi sekali lagi terima kasih atas urun rembugnya
Lam KenaL semuanya…ikut join Yach..boleh ga?
R’wiEn Yogyakarta…
Pingback: Kode Etik dan Kode Perilaku Internet « Dunia Anggara
gara gara diundang diskusi anak anak FH pagi ini jadi mampir ke sini 😛 .. untuk kode etik sebenarnya secara internasional sdh ada sih melalui copenhagen voice. Kita tinggal liat aja tips tips untuk posting dari sana. Secara garis besar tdk menyulitkan hehe~
Jadi karena secara internasional sdh ada panduannya, menurut saya juga tidak perlu untuk dibuat kembali 🙂